Kamis, 14 Mei 2020

JASA-JASA PARA TOKOH PENDUKUNG PANGERAN MANGKUBUMI-HAMENGKOE BOEWONO I

PARA TOKOH TERSEBUT DIANTARANYA:

·         KI TOEMENGGONG ALAP-ALAP

·         RADEN RONGGO PRAWIRODIRDJO

·         KI AGENG DERPOYUDO

·         KI TOEMENGGONG MARTOLOYO

·         KI TOEMENGGONG NOTOPURO

·         KI TOEMENGGONG SETROKETIPO

 

 

DASAR-DASAR SEJARAH  :

 

Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).

 

Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda.

 

Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara.

 

Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).

 

Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengkrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya.

 

Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006.

Tumenggung Notopuro dan Tumenggung Setraketipa adalah dua pemimpin awal Pacitan yang memiliki signifikansi peran dalam babad Pacitan dan perkembangannya. Dalam buku ini beliau berdua saya kisahkan agar kita tidak a-historis dalam menangkap dan memahami peranan tokoh – tokoh penting dalam sejarah perkembangan Pacitan.

 

Sebelum menganalisa peran dua tokoh tersebut, di sub-bab ini ingin penulis sampaikan bahwa model kepemimpinan Pacitan sebelum adanya sistem pemerintahan kabupaten seperti saat ini, adalah kadipaten, kawedanan dan kademangan. Model pemerintahan seperti ini adalah model yang digagas oleh Macapat, sedangkan sistem pemerintahan di Pacitan, karena pada waktu itu Islam sudah masuk dan menjadi agama masayarakat pacitan, yang pada awalnya dibawa oleh Walisongo, menggunakan sistem pemerintahan Macapat. Sedangkan untuk pemimpinnya disebut dengan Kyai Ageng, Demang, Ngabehi, dan wedono gunung.

 

Dalam berbagai referensi tentang babad Pacitan, sejarah mulainya menggunakan metode kepemimpinan Bupati dengan model kabupaten, adalah saat terjadinya peristiwa pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi di wilayah Karesidenan Madiun.  Setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pada akhirnya banyak rakyat dari kasta rendah diangkat menjadi tumenggung, termasuk salah satunya Ngabehi Notoprojo yang diangkat menjadi Tumenggung Posong dan pada akhirnya ditetapkan sebagai Bupati di Nanggungan .

 

Masih dikisahkan dalam babad Pacitan, saat pada akhirnya Pangeran Mangkubumi  menjadi Raja di Keraton Yogyakarta (Ngayogjokarto Hadiningrat), beliau membagi tanah monco nagari  menjadi dua, sebagian ikut pemerintahan kerajaan di Surakarta, dan sebagian dibawah kerajaan Yogyakarta. Untuk tanah Pacitan sendiri akhirnya juga dibagi menjadi dua oleh Pangeran Mangkubumi, dengan rincian pembagian sebagai berikut :

 

1.Wilayah Nanggungan ikut pemerintahan keraton Ngayogjokarto hadiningrat,

 

2.Wilayah Rejasa dan beberapa daerah disekitarnya ikut Pemerintahan Surakarta hadiningrat.

 

Didalam babad Pacitan, diceritakan bahwa Raden Ngabehi Notopuro dari Rejoso yang pada waktu itu merupakan wilayah Kesultanan Keraton Surakarta, pada akhirnya diangkat menjadi Tumenggung oleh Kanjeng Pangeran Surakarta, di Pacitan, dan menjadi pemimpin atau bupati pertama Pacitan dalam sejarah Pacitan setelah menggunakan sistem pemerintahan yang baru, tepatnya tahun 1750-1757. Tidak banyak cerita yang mengisahkan prestasi – prestasi yang dibuat oleh Bupati pertama Pacitan ini, satu – satunya cerita yang bisa didapatkan dari Bupati Tumenggung Notopuro adalah intrik dibalik dihukum kisas yang dijatuhkan oleh Keraton Surakarta kepada beliau.

 

Diceritakan dalam babad Pacitan, Tumenggung Notopuro dikisas karena mengingkari janji kepada sultan, atau biasa dipanggil Kanjeng Sinuwun yang hendak mempersunting anak perempuan Tumenggung yang cantik jelita, tetapi pada akhirnya anak gadis Tumenggung dipersunting oleh Pangeran Pakuningrat dari Surakarta.

 

Hal ini tentu membuat Kanjeng Sinuwun merasa di kerjai oleh Tumenggung yang dulu banyak dibantu menjadi bupati di Pacitan. Pada akhirnya hukuman kisas dijatuhkan ke Tumenggun Notopuro dan jenazahnya diberikan kepada keluarganya, pada akhirnya dimakamkan di Dusun Karang Desa kembang, Kecamatan Pacitan. Dan sampai sekarang makam Tumenggung menjadi pepunden ahli waris warga sekitarnya.

 

Sementara itu studi mengenai Tumenggung Setraketipa sebenarnya sudah dibahas pada sub-bab sebelumnya, akan tetapi sedikit memperjelas saja bahwa peranan Setraketipa dalam perang yang pada akhirnya menentukan nama Pacitan, begitu signifikan. Terutama saat beliau memberikan obat mujarab kepada sang Pangeran dengan memberinya buah Pace, untuk selanjutnya diminum sebagai obat yang mampu membuat para pasukan kembali memiliki kekuatan untuk berperang.

 

Setelah peristiwa tersebut, Setraketipa yang jabatannya hanya abdi dalem akan dijanjikan oleh Pangeran Mangkubumi diberikan kedudukan Bupati. Setelah pada akhirnya kanjeng Pangeran Mangkubumi menjadi Raja di Keraton Yogyakarta, semua abdi dalemnya yang turut berkontribusi membantu peperangan, seperti Penewu, Kliwon, dan Mentri Timbang diberikan imbalan berupa jabatan bupati. Tetapi rupanya sang raja ini lupa kalau Setra Ketipa juga memiliki peran yang signifikan membantu peperangan. Hanya Setraketipa sendiri yang oleh raja tak diberikan imbalan apapun karena beliau lupa.

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

 

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.

 

Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.

 

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.

 

Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.

 

Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing bagus yang sedang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh kekilafan Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.

 

Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.

 

Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.

 

Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.

 

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :

 

1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.

 

2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.

 

(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)

 

3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)

 

4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.

 

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.

 

PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA

 

Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.

 

Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

 

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

 

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

 

Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”

 

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:

 

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”

 

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara

 

Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda

 

Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan

 

Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.

 

Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

 

Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.

 

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.

 

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

 

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

 

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.

 

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

 

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

 

Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

 

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.

 

Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

 

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

 

Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

 

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.

 

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.

 

Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

 

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

 

Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

 

Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo

 

Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta,

 

versi Peter Carey :

 

Prambanan

Klaten

Delanggu (21 November 1810)

Kartasura (22 November 1810)

Masaran *

Padas (24 November 1810)

Sragen *

Tarik (25 November 1810)

Jagaraga

Magetan (27 November 1810)

Maospati (28 November 1810)

Madiun

Sentul (3 Desember 1810)

Caruban (8 Desember 1810)

Tunggur (9 Desember 1810)

Berbek

Pace *

Nganjuk (10 Desember 1810)

Gabar

Kertasana (11 Desember 1810)

Munung (12 Desember 1810)

Pandhantoya

Cabean (14-16 Desember 1810)

Sekaran (16-17 Desember 1810)

* = daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III

 

Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn kesultanan

 

PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.

2. Sultan Hamengku Buwono II

 

Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II.

 

Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.

 

Baca Seni Ukir Unik dari Buah Pisang

3. Sultan Hamengku Buwono III

 

Hamengkubuwana III (1769 – 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara lain :

 

1. Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya.

 

2. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton.

 

3. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku Alam I.

 

Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun.

 

4. Sultan Hamengku Buwono IV

 

Hamengkubuwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).

 

5. Sultan Hamengku Buwono V

 

Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 – 1830.

 

Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu.

 

Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.

 

Geger Sepoy

Tuah Kutukan Sri Sultan Hamengkubuwono I Atas Ambruknya Yogyakarta Dalam Geger  Sepoy

Setelah Perjanjian Giyanti , Pangeran Mangkubumi mendapatkan sebagian wilayah Kerajaan Mataram. Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I itu pun mulai membangun Kasultanan Ngayogyakarta dengan wilayah sebagian besar  adalah bekas hutan Mentaok yang dulunya dibuka oleh Panembahan Senapati , pendiri Mataram Islam . Berbagai tempat didirikan . Bangunan utama Kraton didirikan di atas tanah yang disebut Pacetokan . Masjid Agung dibangun di samping alun - alun , Pasar Beringharjo, Kepatihan dan sebagainya.  ------

Keraton Yogyakarta dikelilingi oleh Cepuri ( benteng dalam yang  langsung melingkupi keraton ), dan Baluwarti ( benteng luar yang  melingkupi keraton dan beberapa pemukiman di sekitarnya serta beberapa  bangunan komponen kota ) . Benteng - benteng tersebut mempunyai makna simbolik, yaitu berkaitan dengan kesakralan wilayah yang dihuni oleh  penguasa beserta kerabatnya. Selain itu, benteng juga memiliki makna praktis, yaitu berkaitan dengan usaha pertahanan dari serangan musuh.  Berkaitan dengan makna yang terakhir itu, maka Benteng Baluwarti Keraton  Yogyakarta dilengkapi pula dengan jagang , yaitu parit pertahanan .  Tembok Benteng Baluwarti tersebut secara keseluruhan tebalnya sekitar 4 meter  dan di setiap sudutnya terdapat bastion yang dalam bahasa Jawa disebut tulaktala . -------

Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom , putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I , sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kompeni di sebelah Utara Keraton . Benteng Kompeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu , kini dikenal  dengan nama Benteng Vredeburg . Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri  ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 M .  Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels , Pada bulan November 1809 , Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri  Sultan Hamengku Buwono II , semakin menyempurnakan bangunan ini . ------ 

Sri Sultan Hamengku Buwono II ( 7  Maret 1750 - 2 Januari 1828 ) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh . Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda , antara lain  menentang Gubernur Jendral Daendels dan Raffles . Sultan menentang  aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen  Belanda . Pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung  dan tak perlu membuka topi . -----------

Perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan Susuhunan Surakarta tentang batas daerah  kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun  tahta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus -  putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di Jawa ( Indonesia ) sampai pertengahan 1812 ketika tentara  Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan  Diponegoro sampai 1828 . Hamengkubuwono III , Hamengkubuwono IV , dan  Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan Hamengku  Buwono II . ------

Dan benar adanya , pada suatu pagi yang mencekam , Juni 1812 , sekitar 1200 bala tentara Inggris dan Sepoy ( orang - orang  India ) merangsek masuk ke Kraton Yogyakarta . Gubernur Raffles  memerintahkan pasukannya yang dikomandani Kolonel Gillespie menyerang  Kraton . Saat itu Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan HB II .  -----

Geger Sepoy begitulah banyak orang menyebutkan tragedi ini .  Peristiwa yang jauh lebih parah dibanding kejadian - kejadian penting  sejarah Kraton seperti jatuhnya Kraton di Pleret ( 1677 ) , Kartasura (  1742 ) , pemberontakan Trunojoyo ( 1675 - 1680 ) dan perang Cina ( 1740 -  1743 ) . Tak ayal, bombardemen artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3  malam di bawah komando Kolonel Robert R. Gillespie telah menghancur -  leburkan Benteng Baluwerti terutama di sisi Utara hingga Timur serta  meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang indah ini.  Seperti apa ceritanya , penasaran ? ------

Cerita bermula setelah  Belanda takluk dan meninggalkan wilayah Hindia Belanda di bawah  kekuasaan Inggris ( 1811 ) , Sultan Hamengkubuwana II kembali menduduki tahta Kesultanan Yogyakarta . Sementara itu , Sri Sultan Hamengkubuwana III kembali  menjadi putera mahkota serta membuat perdamaian dengan ayahnya pada tanggal 5 November 1811 . Namun , kedatangan Inggris ditentang oleh  keraton - keraton di Jawa ( Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan  Surakarta ) yang mengadakan perjanjian rahasia untuk melawan Inggris .  -----

Ketegangan yang memuncak membuat John Crawfurd ( Residen Inggris di Yogyakarta ) mengontak putera mahkota melalui perantaraan Pangeran Diponegoro . Pihak Inggris bermaksud untuk mengangkat putera mahkota kembali menjadi sultan karena memiliki sikap lebih ramah dan penurut  dibandingkan ayahnya yang kaku . Di lain pihak , Sultan Hamengkubuwana II  bermaksud membujuk Inggris untuk mengganti kedudukan putera mahkota kepada Mangkudinigrat . Putera mahkota sendiri dikisahkan dalam Babad Bedhahing Ngayogyakarta karya Pangeran Panular dan tinjauan  Residen Valck tidak berniat merebut kekuasaan meskipun keselamatan dirinya terancam oleh ayahnya . Itulah sebabnya dirinya masih berada di  keraton pada saat Inggris menyerang . ------

Petistiwa Geger Sepoy  sejatinya adalah awal runtuhnya Tanah Jawa . Pengingkaran Sultan HB II  atas wasiat ayahandanya , Sultan HB I , menjadikan Kasultanan Yogyakarta  mengalami malapetaka . Keraton Yogyakarta diserang dan dijarah habis  oleh pasukan Inggris-Sepoy pada 20 Juni 1812 , sebagai tanda hadirnya  tatanan baru imperialisme Eropa yang lebih perkasa. Bahkan dikemudian  hari upaya melawan “kutukan” itu sempat dilawan oleh Pangeran Diponegoro  dalam Perang Jawa ( 1825 - 1830 ) dan Sultan HB IX di masa Republik  Indonesia . -------

Bahkan dalam sebuah riwayat menyebutkan, ramalan  tentang awal runtuhnya Tanah Jawa” diterima oleh Pangeran Diponegoro di Parangkusumo pada sekitar tahun 1805 dalam suatu  perjalanan ziarah . Kekuasaan kraton - kraton Jawa tengah terlucuti  sejak perjanjian yang dipaksakan oleh Daendels pada tahun 1811 . Kedatangan dan penguasaan Inggris merupakan bentuk tukar guling tirani kolonial satu ke tirani kolonial yang lain. Perang Jawa yang dikobarkan  oleh Pangeran Diponegoro pada 1825 - 1830 merupakan upaya besar terakhir  kekuasaan bangsawan Jawa untuk melawan imperialisme dan kolonialisme .  ------

Semangat perlawanan Diponegoro, sebagai Ratu Adil dalam balutan Islam - Jawa dan “Nasionalisme” Jawa , bahkan lebih besar daripada yang  dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi , Raden Mas Said , dan Raden Ronggo I  hampir seabad sebelumnya . Perlawanan ini antara lain dilandasi pula oleh kekecewaan Diponegoro terhadap perubahan kebijakan politik Kasultanan yang tunduk kepada pemerintah kolonial . Perlawanannya juga  diilhami oleh kekaguman Diponegoro terhadap prinsip Raden Ronggo Prawirodirdjo III  sebagai “Pahlawan Terakhir” Kasultanan Yogyakarta yang tak takut mati  daripada tunduk pada kekuasaan penguasa Eropa . Namun , perlawanan  Diponegoro mengalami kekalahan . Hal ini sesuai dengan ramalan Raja Mataram Sultan Agung (1613 - 1646 ) bahwa bangsa kolonial akan menguasai  Jawa selama 300 tahun setelah kematiannya dan meskipun seorang  keturunan penguasa Mataram akan bangkit melawan , ia tetap akan kalah .  -------

Adipati Maospati Madiun ke - III Raden Ronggo Prawirodirjo III yang baru berusia 31 tahun tewas di tangan pasukan gabungan Yogyakarta -  Belanda pada sebuah pertempuran di tepi Bengawan Solo di daerah  Kertosono pada 17 Desember 1810 . Cucu Raden Ronggo Prawirodirjo I ,  sekutu utama Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam melawan VOC , ini  memilih memberontak daripada menyerah pada Gubernur Jenderal Hindia  Belanda Herman Willem Daendels . Belanda sebenarnya mencurigai adanya dukungan Sultan HB II terhadap aksi pemberontakan Raden Ronggo III .  Namun , terdesak oleh situasi politik , Sultan HB II pun terpaksa  “memerintahkan” penangkapan Raden Ronggo III . Keputusan ini berarti  mengingkari janji Sultan HB I , yang tidak akan pernah menyakiti atau  menumpahkan darah keturunan Raden Ronggo I . Akibat  pengingkaran janji tersebut , hanya dalam waktu 18 bulan setelah  terbunuhnya Raden Ronggo III , Sultan HB II mendapatkan malapetaka . Keraton Yogyakarta diserang dan dijarah habis oleh pasukan Inggris - Sepoy  pada 20 Juni 1812 . Seluruh uang Kraton Yogyakarta ( senilai 120 juta  USD saat ini ) , 500-an naskah , gamelan , keris , dan banyak perhiasan  dibawa Inggris ke Bengal . Sultan sendiri kemudian diasingkan ke Pulau Penang ( 1812 - 1815 ) dan Ambon ( 1817 - 1824 ) , sebelum sempat  memerintah kembali pada 17 Agustus 1826 dengan sebutan Sultan Sepuh .  --------

Pada tanggal 13 Juni 1812 , 1000 orang pasukan Inggris (  setengahnya Sepoy ) memasuki Benteng Vrederburg secara diam - diam di  malam hari . Raffles tiba di Yogyakarta pada tanggal 17 Juni 1812 .  Keesokan harinya pada pukul lima pagi, keluarga Pangeran Natakusuma  mengungsi ke benteng, sementara pengikutnya memakai kain putih di lengan  kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris . Pada hari itu, pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil menyergap  pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu - satunya kesuksesan pasukan  keraton dalam menghadapi Inggris . --------

Babad Bedhah ing Ngayogyakarta yang dikaji oleh Peter Carey menyebutkan Sultan merelakan  segala senjata dilucuti oleh serdadu Inggris dan Sepoy . Sultan  menyerahkan keris , pedang , dan belatinya . Seluruh senjata pusaka  keraton yang disita , yaitu Kiai Paningset , Kiai Sangkelat , Kiai Urub ,  Kiai Jinggo , Kiai Gupito , Kiai Joko Piturun , dan Kiai Mesem , bahkan  sampai kancing baju Sultan HB II yang terbuat dari berlian tak luput  dipreteli . Meski kemudian , ketika penobatan Sultan HB III senjata  pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton , kecuali pedang dan belati  karena Raffles kelak mengirimkan kepada Lord Minto di India sebagai  tanda penaklukkan Keraton Yogyakarta kepada Kerajaan Inggris . Peristiwa  ini hanya terjadi sekali dalam sejarah Jawa , ketika istana sebagai  lambang kedaulatan penguasa lokal diserang , dijarah , dan ditundukkan  oleh pasukan Eropa . ---------

Pada tanggal 13 Juni 1812 , 1000 orang  pasukan Inggris ( setengahnya Sepoy ) memasuki Benteng Vrederburg secara  diam - diam di malam hari . Raffles tiba di Yogyakarta pada tanggal 17  Juni 1812 . Keesokan harinya pada pukul lima pagi, keluarga Pangeran  Natakusuma mengungsi ke benteng , sementara pengikutnya memakai kain  putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris. Pada hari itu,  pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil  menyergap pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu-satunya kesuksesan  pasukan keraton dalam menghadapi Inggris. -------

Pada hari yang sama, Raffles mengultimatum Sultan untuk menyerahkan kedudukan kepada putera  mahkota yang selanjutnya ditolak oleh sultan . Pada tanggal 19 Juni 1812  , pasukan Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan ,  tetapi sultan mengabaikannya. Terjadi insiden pada ''bastion'' Timur  Laut , di mana meriam Kyai Nagarunting meledak ketika ditembakkan ,  mengakibatkan beberapa pengawaknya ( anggota brigade ''Setabel'',  artileri keraton ) mengalami luka bakar . Sebuah gudang munisi yang  dijaga anggota brigade Bugis juga dilaporkan meledak terkena peluru  meriam Inggris . -------

Pertempuran utama terjadi pada tanggal 20 Juni  1812 yang dimenangkan oleh Inggris . Pada saat fajar keesokan harinya,  pasukan Inggris menggunakan tangga - tangga bambu yang disiapkan Kapitan  Tionghoa Tan Jin Sing untuk masuk ke dalam keraton . Selain itu ,  terjadi pula penembakan terhadap ''plengkung'' Tarunasura dan pintu Pancasura yang memperparah penyerbuan . Penyerangan tersebut  mengakibatkan banyak keluarga Keraton Yogyakarta yang tewas , antara  lain salah satu dari ketiga menantu sultan ( KRT Sumadiningrat , panglima pasukan keraton ) , dan Ratu Kedaton . Saat pasukan Inggris  berhasil mengepung ''kedhaton'' ( pusat keraton ) , Sultan  Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih . ---------- 

Sengitnya pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta  pada Jumat - Sabtu , 19 dan 20 Juni 1812 , dicatat oleh seorang serdadu  Inggris , Kapten William Thorn . Dia menulis perjalanan penaklukan  Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang terbit pada  1815 di London. Kelak orang Jawa menjuluki pertempuran ini dengan “Geger  Spehi” - Perang Spoy . ---------

Thorn melukiskan keadaan pertahanan  Keraton Yogyakarta . “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian  tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan  jungkit ; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [ pojok  benteng yang menjorok ] dan diperkuat dengan seratus meriam . -------- 

Seperti yang sudah saya narasikan di atas, dalam pertempuran dua hari  itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah , yang  terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa . Jumlah itu  masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal  Mangkunagaran , Surakarta . Sementara , menurut Thorn, terdapat sekitar  17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti ( tembok  keraton ) . ----------

Tembak - menembak antara Benteng Vredeburg —  sebagai kubu pertahanan Inggris — dan Keraton sebenarnya sudah dimulai  sejak 18 Juni sore . Menurut Thorn , benteng ini , “hanya sedikit  meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda ,  sangat buruk , ” ungkapnya , “ sehingga tembakan kami ibarat hanya  menghibur musuh . ” ---------

Sejatinya , Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang tengah berangkat dari Salatiga  menuju Yogyakarta . Pasukan susulan itu baru tiba pada esoknya, dan  langsung menggempur Keraton . Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan  meriam - meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun - alun utara .  Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan  utama , melainkan serangan pengecoh . ------

Serangan utama Inggris  tertuju pada sisi Timur Baluwarti — kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso  . Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi  Resimen Infanteri ke- 14 , Buckinghamshires . Mereka mendekati bastion  Timur Laut dengan dilindung penembak - penembak Inggris . ------- 

Bastion Timur Laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil  diledakkan oleh serdadu Sepoy di bawah komando Watson . Tampaknya  ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat . Setelah ledakan,  pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan  jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten . Mungkin akibat ledakan  itulah bastion Timur Laut itu rusak berat dan hingga hari ini pertahanan  baluwarti hanya menyisakan tiga bastion — warga menjulukinya dengan  Pojok Beteng Wetan , Pojok Beteng Kulon , dan Pojok Beteng Lor .  --------

Plengkung Tarunasura / Pancasura , kini lebih dikenal dengan  Wijilan , sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan  Kolonel Alexander MacLeod . Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar  Sultan . Para serdadu Sepoy India itu merayapi dinding baluwarti dengan  cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti.  Akhirnya , artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu .  -----------

Musuh menyapu tembok Baluwarti dengan tembakan senapan dari  bastion tenggara , ” catat Thorn. Namun , “ akhirnya [ bastion itu ]  takluk diujung bayonet . ” Kemudian , setelah beberapa pertempuran di  sisi Selatan Baluwarti, serdadu Inggris berhasil membuka gerbang  Selatan, Plengkung Nirbaya . Berikutnya , serdadu Sepoy dan Inggris  berhasil membobol pintu gerbang Barat , Plengkung Jagabaya. Pertahanan  Baluwarti terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah bastion  Barat Laut , kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di  luar baluwarti , demikian papar Thorn . Tampaknya yang dimaksud Thorn   adalah Masjid Besar Kauman . --------

Mengapa pertahanan keraton lemah ?  Merujuk dari sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta telah  mengungkapkan rendahnya daya juang para pembela keraton . Babad jatuhnya  Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular , seorang  putera Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812 . Banyak di antara  pangeran yang mestinya memberi teladan di medan tempur dengan memimpin  perlawanan , hanya mencawat ekor dalam perlindungan pintu - pintu  gerbang atau berpura - pura sakit . -------

Bahkan , sebagian dari  mereka mencari selamat dengan cara keluar keraton menuju desa - desa di  pinggiran dan makam Imogiri . Babad Bedhahing Ngayogyokarto juga  mengisahkan kerisauan hati Sultan Hamengkubuwana II . Para laskar  perempuan yang mengawal Sultan pun turut berdzikir dan berdoa . Perang  ini diakhiri dengan menyerahnya Sultan Sepuh dan dimulainya penjarahan  besar - besaran atas harta , pusaka , dan pustaka Keraton Yogyakarta .  Awal Juli 1812 , Sultan dibuang ke Pulau Penang . ----------

Berbagai  senjata , gamelan , wayang , ratusan kitab sejarah Jawa , dan naskah -  naskah daftar tanah kerajaan turut dijarah . Bahkan , dikisahkan juga  dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta bahwa selama empat hari lebih ,  harta rampasan perang diangkut dengan pedati ke Wisma Residen . Kuli  pengangkutnya berasal dari pengawal dan kerabat dekat Sultan sendiri .  ---------

Sementara itu , sebagai seorang letnan gubernur dan panglima perang , Thomas Stamford Raffles pun tak ketinggalan . Dia turut  menjarah dan mengangkut harta keraton yang nilainya sekitar 200.000  hingga 1.200.000 dollar Spanyol. Kolonel Rollo Gillespie , seorang  panglima tentara Inggris di Jawa , menjarah 800.000 dollar Spanyol .  Sebesar 74.000 dollar Spanyol ( sekitar Rp 27 miliar untuk kurs kini )  untuk dirinya sendiri , sisanya dibagi - bagikan ke perwira lain di  bawahnya . Sebagian lagi , sebesar 7.000 dollar Spanyol ( sekitar Rp 2,5  miliar untuk kurs kini ) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana  dari Mangkunagaran . ----------

Pustaka naskah itu tidak kembali ke  Jawa, setidaknya hingga hari ini . Sekitar 55 naskah Jawa milik Raffles ,  sebagian besar diserahkan kepada ********Royal Asiatic Society pada  1830 . Koleksi naskah jarahan Raffles bukanlah yang terbanyak . Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik Keraton Yogyakarta .  Sementara itu , sekitar 45 naskah Jawa koleksi John Crawfurd , seorang  residen Yogyakarta , sebagian besar dijual kepada British Museum pada  1842 . --------

Babad Bedhahing Ngayogyokarto juga berkisah tentang  penjarahan yang tampaknya membabi buta terhadap barang - barang  perhiasan milik perempuan keraton . Serdadu - serdadu itu memasuki  wilayah keputren . Seorang istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan  dan pakaian kebesarannya . Salah seorang perwira Inggris tewas ditikam  seorang perempuan keraton lantaran sang perwira akan membawanya sebagai  rampasan perang . --------

Dalam pertempuran dua hari itu , dari seribu  serdadu Inggris , sekitar seratus orang tewas . Sedangkan di pihak Sultan “tidak dapat dihitung secara tepat . Namun pastinya sangat besar  jika kita melihat mereka yang terbunuh dan terluka di sepanjang  baluwarti dan bastion . Jumlah tewas yang luar biasa di setiap gerbang ,  tertutama di kawasan tengah . ” Demikianlah , kesaksian serdadu Inggris  dan prajurit Jawa tentang pertempuran yang mengantarkan Tanah Jawa ke  tatanan kolonial . -------

Invasi Inggris ke Jawa 1811 merupakan  ekspedisi laut terbesar dalam sejarah , setidaknya hingga jelang Perang  Dunia Kedua . Di bawah Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty , hampir  12.000 serdadu yang berlayar dalam 100 kapal melintasi Samudra Hindia  dan mendarat di Cilincing . Atas titah Lord Minto , mereka berupaya  merebut kekuasaan Prancis di Jawa . ---------

Dalam buku Tahta Untuk Rakyat , Sri Sultan Hamengku Buwono IX terbaca sangat meneladani  semangat anti-imperialisme yang dicontohkan leluhur pendiri kasultanan  dua abad sebelumnya . Jelang bertahta sebagai Sultan , negosiasi alot  dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam yang memaksakan adanya kontrak  politik antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta dilakukan . --------

Kontrak politik yang sangat merugikan sistem  pemerintahan lokal dan mengutamakan kepentingan pemerintahan kolonial  itu mau tak mau disanggupi sebagai syarat penobatan Sultan HB IX pada 18  Maret 1940 . Kesetiaan Sultan HB IX terhadap prinsip humanisme dan  nasionalisme ditunjukkan tak lama setelah bertahta . Pada masa  pendudukan Jepang , Sultan HB IX memprakarsai proyek pembangunan Selokan Mataram yang merupakan upaya tersembunyi untuk menyelamatkan rakyat  Yogyakarta dari menjadi Romusha . -------

Segera setelah proklamasi  kemerdekaan Republik Indonesia ( RI ) , Kasultanan Yogyakarta dan  Kadipaten Paku Alaman menyatakan bergabung dengan RI . Pada 1949 ,  Sultan HB IX menyerahkan 6 juta Gulden kepada Soekarno dan Hatta sebagai  modal awal bagi RI untuk menjalankan pemerintahan . Pada dekade 1950-an  , beberapa pabrik gula dihidupkan kembali , termasuk Pabrik Gula  Madukismo di Bantul yang masih beroperasi hingga kini . Tanah Sultan (  Sultan Ground ) pun terbuka digunakan untuk berbagai kepentingan ,  seperti untuk pertanian , kantor pemerintah , dan tempat pendidikan ,  termasuk Istana Kepresidenan Gedung Agung dan Universitas Gadjah Mada .  ----------

*** Dalam masa yang baru itu , Sultan HB IX tidak setengah - setengah meneladani perjuangan para pendahulu di masa awal Kasultanan Yogyakarta . Sultan HB IX menganugerahi mendiang Raden Ronggo Prwairodirdjo III , yang sebelumnya dianggap sebagai pemberontak oleh Kasultanan  Yogyakarta, sebagai pejuang perintis melawan Belanda . Sri Sultan Hamengku Buwono IX memerintahkan memindahkan makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III dari Bayusumurup di Imogiri ke asalnya di Maospati pada tahun 1957 . Pemindahan makan Raden  Ronggo III agar bersebelahan dengan makan istrinya , Gusti Bendara Raden Ayu Maduretno , adalah upaya Sultan HB IX untuk menghormati sejarah .  Sultan HB IX secara bijak mampu membaca janji leluhurnya dan mengadakan rekonsiliasi . ----  Bahkan , selain “ngumpulke balung pisah”  antara Yogyakarta dan Madiun , Sultan HB IX juga membuka pintu Kraton Yogyakarta kepada keluarga trah Pangeran Diponegoro yang sempat dihukum  dilarang masuk kraton sebagai dampak Perang Jawa . Pangeran Diponegoro  sendiri , yang juga dicap sebagai pemberontak akibat perlawanan menuntut  kemerdekaan , adalah menantu Raden Ronggo Praworodirdjo III dan Gusti Bendara Raden Ayu Maduretno .  Nuwun ...??????

“ik ben een blijf in de allereerste plaats javaansche”  / “ setinggi - tingginya aku belajar ilmu Barat , aku adalah dan  bagaimanapun jua tetap Jawa”. ( Sri Sultan Hamengku Buwono IX )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDOEKOENG PERDJOEWANGAN PANGERAN MANGKOEBOEMI DI TANAH SOEKOWATI

Perjuangan Sukowati berawal yaitu pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746 Tangal dan waktu tersebut adalah dari hasil penelitian serta k...