SEJARAH MADIUN DAN SEKITARNYA
Sejak jaman prasejarah, wilayah Madiun dan sekitarnya telah di diami
kelompok masyarakat yang telah mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi,
karena wilayah Madiun yang subur, banyak sungai besar dan kecil mengalir
diantaranya : sungai Madiun, Bengawan Solo, kali catur, kali nggandong, dan
masih banyak lagi sungai-sungai yang penyebutannya tiap desa berbeda. Banyak
fosil dan artefak prasejarah ditemukan di sekitar Madiun, misal di gua-gua
daerah perbukitan pantai selatan Pacitan, diantaranya penemuan di Gua Tabuhan,
Dusun Ngrijang, Donorojo dan gua lawa Sampung Ponorogo. Bahkan para ahli
sejarah menyebut Pacitan sebagai Ibukota Prasejarah. penemuan fosil di Sampung,
Ponorogo, penemuan fosil di Sungai Nggandong dan penemuan yang sangat
penting,yatu fosil Phitecantropus Erectus di Trinil Ngawi oleh Eugene Dubois
(1891), baru-baru ini banyak ditemukan fosil binatang Purba di Kedungbrubus
(2011), Penemuan fosil Manusia Purba di sekitar Alas Ketonggo, Ngawi (2011)
selain itu juga banyak penemuan benda peninggalan sejarah yang berasal dari
peradaban zaman Mataram kuno sampai Mataram Islam. diantaranya :
Prasasti Sendang Kamal, Maospati ( yang 1 di museum Batavia)
Prasasti Mruwak , ditemukan oleh Mahasiswa IKIP PGRI Madiun waktu
Kuliah Kerja Lokal, 1975 dibawah bimbingan Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs.
Arief Soekowinoto
Prasasti Bibrik dan Prasasti Klagen Serut, kedua prasasti disebut
kembar karena berasal dari pemerintahan yang sama, yaitu Majapahit. Berisi
tentang penegasan atas kekuasaannya diwilayah tersebut, atau sumber yang lain
berasal dari era pemerintahan Medang.
Prasasti Bulugledeg, Ds.Bulugledeg (bukti eksistensi Majapahit)
berkaitan dengan Prasasati Kenteng, di Kel. Bendo, Magetan. (terdapat makam
keramat Kyai Sabuk Alu/punden sabuk alu )
Prasasti Batu dari Desa Sine Kecamatan Sine, angka tahun Saka 1381
(1459 M), Berdasarkan prasasti tersebut diperkirakan Abad XIV daerah
Sine termasuk wilayah kekuasaan seorang raja puteri (Jagaraga)
Perabot Upacara, dalam sebuah belanga perunggu, terdapat benda-benda
berjumlah 13 buah terdiri dari pinggan keramik, talam sirkel besar kecil dari
perunggu, sebuah blencong perunggu, Pinggan gondok perunggu, sepasang kaki
sandaran perunggu ditemukan di wilayah Dagangan (disimpan di Museum Mpu
Tantular Surabaya)
Dua buah batu yoni ditemukan di Desa Nglandung dan dua buah lagi di
Desa Mawatsari, Madiun
Prasasti dan Arca Dewi Sri ditemukan di Desa Klagen Serut
Batu Umpak, makam Kyai Reksogai di Kelurahan Sogaten
Candi Reco Banteng, Desa Wonorejo, Kedunggalar, Ngawi
Candi Simbatan atau Patirtan Dewi Sri, desa Simbatan ,Nguntoronadi,
Magetan
Candi reog , Candi Reco sapi ( penemuan 1971 oleh Sudiro warga
setempat), Dusun Sadon, Desa Cepoko, Panekan, Magetan
Watu lintang , desa Terung, Panekan
Candi Budho, arca Ganesha, yoni Desa Wates Panekan Magetan
Komplek batu-batu arca, Desa Bedagung, Panekan, Magetan
Arca Ganesha, Makam Demang Sagopa, Desa Widoro Kandang Panekan Magetan
Batu Gilang (yoni) Dusun Sadon, Desa Cepoko, Magetan
Arca Watu Sirah, Ds Selosari, Magetan
Arca Ganesa dan 2 miniatur rumah, Punden Sumber Clelek Desa
Driyorejo, Nguntoronadi
Candi Kodok, Ds.Candirejo, Magetan ( arca asli dibawa ke Solo)
Situs Kadipaten Purwodadi, lingga yoni, arca nandi, desa Purwodadi ,
kec. Barat ( tembok benteng dan pintu gapura)
Makam kuno Sonokeling , Nisannya bertuliskan aksara Kawi desa
Kepolorejo,Magetan
Arca Ganeca di desa Pucangan Kecamatan Ngrambe
Arca Nandi di tengah halaman SMP Ngrambe
Batu Gilang di Desa Ploso Kecamatan Kendal
Prasasti Kenteng, Desa Bendo Magetan
Prasasti Tegal Turi, Desa Kraton, Maospati
Prasasti Kutu, Desa Sumberejo,Maospati, Magetan
Prasasti Desa Kedungpanji, Nguntoronadi, Magetan
Situs Kerajaan Gegelang Bumi Ngurawan , petirtan, arca-arca, yoni,
di Dsn Ngrawan Desa Dolopo
Situs Mangiran, Desa Mangirejo Saradan, Madiun
Situs Rumah Palang, arca-arca, Mejayan, Caruban Madiun
Makam Kuncen, Prasasti, Masjid Kyai Anom Besari, Kuncen Caruban
Dua buah Arca ditemukan di Desa Sumberejo, Saradan
Relief batu, arca Desa Nglembah, Dolopo
Situs kolam ditemukan di Desa Karangpatihan Mbalong Ponorogo
Candi Sebayi, gemarang Madiun.
Candi Wonorejo, Dsn Santan Wonorejo, Caruban Madiun
Reruntuhan Candi Desa Palur, watu lesung, rumah Baron, Kebonsari.
Rumah Benteng, Karangmojo Magetan (rumah arsitektur kuno bekas
pertahanan pejuang)
Candi Pendem Ds. Pucangan Ngrambe
Situs Kandang Kidang, Ds. Ngrayudan, Jogorogo
Arca Parwati, Ds.Nguntoronadi Magetan
Lingga Dsn. Sumbernogo Dolopo
Lingga Dsn. Brebes Mlilir
Lingga Yoni dan arca Punden Kel. Tebon Barat Magetan
Lingga Yoni waduk Dawuhan, Ngadirejo Madiun
Situs Fragmen Candi Wungu, Dungus Madiun
Arca Megalitikum Dungus Madiun
Kumpulan arca di Bakorwil Kota Madiun
PENINGGALAN SEJARAH ERA KOLONIAL
Kawasan pecinan, Jl. Agus Salim, kawasan Gang Tengah, Kec.Taman Kota
Madiun
Rumah Kapitan China, Jl. Kol. Marhadi Kota Madiun (woming Kapitan
China)
Pendopo Bupati, Jl. Alun-alun Utara Kota Madiun
Kantor Polisi Kehutanan, dulu Asrama Kepangeranan, Jl. Ahmad Yani
Kota Madiun
Kantor Pemerintah Kota Madiun, Jl. Pahlawan Kota Madiun (gementee
huis)
Kantor Bakorwil (karesidenan), Jl. Pahlawan Kota Madiun (residence
kantooren)
Kantor Korem 081 Kota Madiun, dulu kantor wakil residen
Kantor Kodim 0803 Kota Madiun, Jl. Pahlawan (dulu societiet
Constantia)
Kantor Denbekang Kota Madiun, (dulu Societiet Harmonie)
Kawasan Stasiun Madiun (gudang garam, gudang kopi)
Kawasan PG. Redjoagung
Bosbow, Jl. Diponegoro Kota Madiun ( gedung OSVIA)
Kantor Satlantas Polres Kota Madiun
RTM (rumah tahanan Militer) Madiun, Jl. Ahmad Yani Kota Madiun
(klein boei)
Komplek Gereja Katolik Jl. Ahmad Yani Kota Madiun
Bekas Kantor Denkesyah Jl. Pahlawan Kota Madiun
Gedung bioskop Arjuno (apollo), Jl. Alun-alun utara
Perpuskota , Jl. Agus Salim
(hotel selamat)
Klenteng Tri Dharma Hwie Ing Kiong Jl. Jl.HOS Cokroaminoto
Gedung BRI Jl. Alun-alun timur ( Landbouew Credit bank)
SMP 2 Madiun, Jl. Agus Salim ( HCS, SMP Pertahanan, Markas TRIP)
SMP 6 Madiun Jl.HOS Cokroaminoto (HCS/Hollandsch-Chineese School van
de Vereeeniging Tiong Hwa Hok Koen)
SMP 13 Madiun, Jl. Sumatra (Europeesche School)
SDN Madiun lor (SD Jenggala), Jl Sumatra (Europeesche Meijes school)
SDN 01 Pangongangan Jl, Alun-alun utara (Inlandsche School / Eerste
School)
SMP 3 Madiun, Jl. Kartini (sekolah kartini)
SMP 1 Madiun, Jl. Kartini (MULO)
SDN 05 Madiun Lor, Jl. Jawa (SD Endrakila) (HIS)
SDN 02 Kartoharjo, Jl. Sulawesi
(Particuliere Schakelschool van de Vereeniging Moehammadijah)
SMP 5 Madiun, Jl.Alun-alun timur (HIS)
SD/SMP santo yusuf, Jl Diponegoro (HIS /ELS Santo Paroki)
SMK Tamansiswa 2 Jl. Kalimantan
BENDA PURBAKALA YANG DITEMUKAN SEBELUM KEMERDEKAAN, YAITU :
1. Batu lumbung banyak ditemukan di wilayah Uteran
2. Dua buah Genta Kuningan, bak air perunggu, kapak besi, sebuah
lumbung dan yoni ditemukan di Kelurahan Nambangan Kidul
3. Arca Trimurti ditemukan di Kelurahan Oro-oro ombo
4. Periuk Perunggu ditemukan di Caruban ( tersimpan di Museum
Batavia)
5. Arca Durga berangka tahun 1338 saka dan sebuah lumbung berangka
249 di temukan di Uteran (lumbung disimpan di Museum Batavia)
6. Bekas-bekas istana ditemukan di Desa Gelang, Daha (sekarang sudah
lenyap)
7. Cincin emas ditemukan di Desa Sareng dan Glonggong (disimpan di
Museum Leiden)
8. Sumur Bundar dengan batu bata Zaman Majapahit dan sebuah yoni
serta tempat air dari batu berangka tahun 1320 saka ditemukan di Desa
Warujayeng
9. Lumbung dan kuburan yang terbuat dari batu bata Majapahit, disini
juga ditemukan benda-benda dari kuningan, emas dan besi di Desa Nglambangan
10. Arca Ganesha ditemuka di Desa Tawangrejo
11. Arca pria Polynesia, sebuah arca wanita, dua arca Ganesa,
sesosok raksasa dan suatu karya menggambarkan seorang pria dan wanita serta
arca laki-laki dengan tempat air dari batu ditemukan di Desa Dungus
12. Arca Dwarapala, sebuah yoni dan dua arca Ganesa ditemukan di
Dusun Watu Lesung, Kedondong
13. Arca Siwa Trimurti dan dua arca Ganesha ditemukan di Dusun
Butan, Krandekan
14. Watu Gilang ditemukan di Kelurahan kuncen
15. Dua buah arca dari logam ditemukan di Desa Munggut
16. Beberapa benda dari emas, diantaranya anting ditemukan di Desa
Gemarang (disimpan di Museum Batavia)
17. Dua buah gelang logam, bukan berasal dari zaman hindu, ditemukan
di Desa Kresek (disimpan di museum Batavia)
JEJAK KERAJAAN MEDANG KAHURIPAN DI MADIUN
Pada abad ke-8 M wilayah Madiun berada di bawah pemerintahan Mataram
Kuno dengan penguasa Dinasti Syailendra dan Sanjaya yang berpusat di sekitar
Yogyakarta sekarang, karena konflik politik yang berkepanjangan maka pusat
pemerintahan kerajaan Mataram Kuno berpindah beberapa kali dan sampai akhirnya
pusat pemerintahan Mataram pada abad ke -10 pindah ke Jawa Timur yang kemudian
disebut sebagai Kerajaan Medang
Kerajaan Medang di perintah oleh Dinasti Isyana sebagai penerus
Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Raja Medang terakhir adalah Sri Maharaja Teguh
Darmawangsa Anantawikrama Tunggadewa. Wilayah kerajaan Medang bagian barat
berbatasan langsung dengan Kerajaan Wurawuri / Worawari (kerajaan bawahan
Medang) yang pusat kerajaannya di Lwaram yaitu kemungkinan di daerah Cepu Jawa
Tengah ( Mungkin sekarang Desa Ngloram, Cepu, Kab. Blora ).
Hubungan Medang dan Wurawari memanas sejak Kerajaan Wurawari
berhubungan erat dengan Kerajaan Sriwijaya untuk merebut selat Malaka sebagai
jalur perdagangan. Perseteruan memuncak ketika Prabu Darmawangsa mengirim
pasukan untuk menduduki Malaka tahun 990-992 M. Dalam perseteruan tersebut.
Madiun punya arti penting, sungai Madiun dijadikan sebagai lalu-lintas
perdagangan dan militer. Winangga ( Kelurahan Winongo) dijadikan sebagai
pelabuhan biduk.
Dalam bidang pertanian Prabu Darmawangsa menuliskan Undang-Undang
tentang Tata air pertanian pada salah satu batu di Prasasti Sendang Kamal
dengan Bahasa Kawi yang berisi kutipan Kitab Shiwasana yaitu Kitab UU Hukum
yang mengatur kehidupan bernegara dan masyarakat menurut ajaran Hindhu Syiwaise
yaitu kita harus taat Tri Darma bhakti : Kita wajib berbakti pada Siwa, Negara
dan masyarakat termasuk keluarga. Pusat pemerintahan Prabu Darmawangsa berada di
Wwatan, kemungkinan Wwatan berada di wilayah Maospati Madiun dan sekitarnya
atau daerah Ponorogo (desa Wotan), belum ada bukti kepastian keberadaan dari
Kerajaan ini.
Pada saat pesta pernikahan putri Prabu Darmawangsa dengan Airlangga,
Kota Wwatan diserang oleh pasukan Wurawari. Peristiwa ini tercatat dalam
Prasasti Pucangan sebagai peristiwa Pralaya. Prabu Darmawangsa Teguh tewas dan
Airlangga berhasil melarikan diri ke Wonogiri ditemani Mpu Narotama, setelah
tiga tahun dalam pelarian Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang di Watan
Mas (dekat Gunung Penanggungan). Airlangga naik tahta untuk melanjutkan Wangsa
Isyana di Jawa Timur tahun 1009 M. setelah melakukan penaklukan-penaklukan
semua daerah diantaranya Raja Hasin dari (?), Raja Wisnuprabawa dari Wuratan,
Raja Wijayawarma dari Wengker (Ponorogo), Raja Panuda dari Lewa, Raja Putri
dari Wilayah Tulungagung dan pada tahun 1032 Prabu Airlangga menaklukan Raja
Wurawari serta menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker. Wilayah
kekuasaan Prabu Airlangga membentang dari Pasuruan Timur sampai wilayah Madiun
dan membangun istana baru di daerah Sidoarjo bernama Kahuripan.
ASAL MULA NAMA MADIUN
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama
Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Purabaya atau Purbaya?.
Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut
pandang, diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan
“ayun-ayun” (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang / Ki Sura bersemedi
untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan ( sendang amerta ) di
Wonorejo, (sekarang Kuncen) diganggu gendruwo/ hantu yang berayun-ayun di
pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”. Kemudian
cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu
perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar
sendang. Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh
masyarakat, terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan
Mbediun untuk menyebutkan Madiun, versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu
Madya ( tengah ) ayun ( depan ), Pangeran Timur adalah adik ipar atau putra
bungsu Sultan Trenggono yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di
Kasultanan Pajang, maka pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar
dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun ( tengah depan)
MADIUN PADA MASA KERAJAAN DEMAK-MATARAM ISLAM
Pada akhir Pemerintahan Majapahit atau Masa awal kejayaan Kasultanan
Demak Bintoro di wilayah Madiun selatan terdapat Kadipaten Gegelang atau
Ngurawan, yang diperintah oleh Pangeran Adipati Gugur. salah satu putra Prabu
Brawijaya V, yang tentunya masih setia pada Majapahit.
Kerajaan Majapahit yang telah dikudeta oleh Girindrawardana tahun 1478
dengan pusat pemerintahan di Daha, Kediri, dapat di taklukan oleh Pasukan Demak
yang dipimpin oleh Sunan Kudus tahun 1527, kemudian penaklukan melebar ke
wilayah timur diantaranya Tuban, Wirasaba (Mojoagung) tahun 1528, Gegelang
(selatan Madiun) tahun 1529 dan wilayah kerajaan-kerajaan kecil bekas Majapahit
lainnya.
Kyai Ageng Reksogati sebagai utusan Kasultanan Demak untuk
menyebarkan Agama Islam di wilayah Madiun tepatnya di Desa Sogaten mulai tahun
1518 (Sogaten = tempat Kyai Reksogati). Beliau selain mendirikan pesantren juga
sebagai pemimpin di wilayah tersebut. Kyai Reksogati inilah yang dianggap
sebagai cikal bakal berdirinya Kabupaten Madiun.
Pangeran Timur dilantik menjadi Adipati di Purabaya bersamaan dengan
dilantiknya Hadiwijoyo (Karebet/Joko Tinggkir) sebagai Sultan Pajang tanggal 18
Juli 1568, pemerintahan berpusat di Desa Sogaten, Sidomulyo dan sekitarnya.
Sejak saat itu secara yuridis formal Kadipaten Purabaya menjadi suatu wilayah
pemerintahan di bawah Kasultanan Pajang ( sebagai penerus Demak).
Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari Sogaten ke Desa
Wonorejo (sekarang Kuncen) yang letaknya lebih strategis karena diapit 2 sungai
yaitu Kali Catur dan Nggandong, sampai tahun 1590.
Pada tahun 1586 Kesultanan Pajang Runtuh akibat adanya konflik
internal dan serangan dari Mataram, maka Panembahan Rama (sebutan lain pangeran
Timur) menyatakan bahwa Purabaya adalah kadipaten bebas yang tidak terikat
dengan hierarki Mataram, dengan tidak tunduknya Purabaya pada Panembahan
Senopati, maka Mataram segera mengirim ekspedisi militer untuk menaklukan
Purabaya sebagai Kadipaten Wedana Mancanegara Timur (Brang wetan), tahun 1586
dan 1587.
Dalam ekspedisi tersebut prajurit Mataram selalu menderita kekalahan
yang cukup berat. Prajurit Purabaya dan sekutu dipimpin oleh salah seorang
prajurit wanita, yaitu Raden Ayu Retno Djumilah. Panembahan Rama dan Retno
Djumilah memimpin seluruh prajurit gabungan Kadipaten Mancanegara Timur
diantaranya, Kadipaten Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga, Kedu, Brebek,
Pakis, Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jogorogo dan Caruban.
Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk dalam versi
lain atas saran Ki Mandaraka (Ki Juru Mertani) Panembahan Senopati mengutus
seorang dayang cantik jelita bernama Nyai Adisara untuk menyatakan kekalahan
dengan membawa surat takluk dan sebagai tanda, Nyai Adisara membasuh kaki
Panembahan Rama yang airnya nanti digunakan untuk siram jamas Panembahan
Senopati, hal ini membuat Pasukan Purabaya dan sekutunya terlena, maka pasukan
sekutu berangsur-angsur pulang ke daerahnya masing-masing.
Dengan ahli strategi Ki Juru Mertani yang didukung 4000 prajurit
Mataram telah siap di barat Kali Madiun untuk menyerang pusat istana Kadipaten
Purabaya, terjadilah perang hebat, hingga pada sore hari prajurit Madiun kalah
dan banyak yang melarikan diri ke timur, tinggalah Raden Ayu Retno Djumilah
yang ditugaskan untuk mempertahankan Purabaya, dengan di bekali pusaka Keris
Kala Gumarang dan sejumlah kecil prajurit yang tersisa, Retno Djumilah Madeg
Senopati Perang.
Perang tanding terjadi antara Sutawijaya dengan Raden Ayu Retno
Djumilah terjadi disekitar sendang di dekat istana Wonorejo (daerah Kuncen,
Demangan)
Pusaka Keris Kala Gumarang berhasil direbut oleh Sutawijaya dan
melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawijaya
kemudian diboyong ke istana Mataram sedangkan Panembahan Rama melarikan diri ke
Surabaya.
Sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purabaya tersebut maka
pada hari Jum’at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purabaya” diganti
menjadi “Mbediyun ” atau Mediyun.
MADIUN MASA PERANG TRUNOJOYO
Pada tahun 1676 terjadi pemberontakan Trunojoyo terhadap Amangkurat
I di Mataram.
Pemberontakan ini berawal dari konflik internal antara Mas Rahmat
(putra Mahkota) dengan Amangkurat I. Trunojoyo, pangeran dari Madura ini,
akhirnya banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, diantaranya para
pelarian prajurit Sultan Hassanudin dari kerajaan Gowa (Makassar) yang dipimpin
oleh Karaeng Galesong.
Setelah berhasil menguasai hampir separoh wilayah Mataram, pasukan
Trunojoyo menyerbu kraton Mataram di Plered dan berhasil menguasai Mataram,
pada tanggal 2 Juli 1677, hingga Sri Susuhunan Amangkurat I harus menyingkir ke
barat, sampai di Tegalwangi dan meninggal di sana (terkenal dengan Sunan
Tegalarum). Menggantikan ayahnya Mas Rahmat sebagai Pangeran Adipati Anom
bergelar Susuhunan Amangkurat II, segera bersekutu dengan VOC untuk melawan
Pasukan Trunojoyo.
Tanggal 27 Desember 1679, Benteng pertahanan terakhir Trunojoyo
dikepung 3000 prajurit VOC, yang dibantu oleh pasukan Kapten Yonker (Ambon) dan
Aru Palaka (Bugis) serta prajurit Mataram sendiri, pasukan besar ini di
komandani oleh Anthonie Hurdt. Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud.
Pada waktu perang Trunojoyo ini, Madiun di bawah Bupati Kyai
Irodikromo atau Pangeran Adipati Balitar (1645-1677) kemudian digantikan
putranya Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel (1677-1703). Menurut catatan VOC ,
dalam perang ini rakyat Madiun bersikap statis walaupun dalam hatinya mereka
lebih memihak perjuangan Trunojoyo melawan Susuhunan Amangkurat II yang
bersekutu dengan VOC.
Tanggal 5 Nopember 1678, pasukan Amangkurat II dengan jumlah besar
yang terdiri dari Prajurit Makassar, Malaya, Ambon dan juga Jawa singgah di
Desa Klagen Gambiran kemudian berkemah di pinggir Kali Madiun di Desa Kajang.
Disini pasukan Belanda dibawah Kapten Tack bergabung. Hari berikutnya mereka
meneruskan pengejaran terhadap Trunojoyo ke timur, di Desa Tungkur (saradan)
Pasukan Trunojoyo mengadakan perlawanan sengit hingga pasukan Mataram terpaksa
bermalam di Caruban. Tanggal 17 Nopember 1678 , pasukan gabungan ini
menyeberangi sungai Brantas untuk masuk ke wilayah pertahanan Trunojoyo di
Kediri.
MADIUN MASA PERANG SUROPATI
UNTUNG SUROPATI adalah pelarian dari Banten, karena telah
menghancurkan Pasukan Kuffeler yang akan menjemput Pangeran Purbaya untuk
dibawa ke Benteng Tanjungpura. Untung Suropati menjadi buronan utama Kompeni
Belanda. Untung Suropati lari ke Mataram, sambil mengantar istri Pangeran
Purbaya ”Gusik Kusuma” pulang ke Kartasura. Sampai di Kartasura Suropati di
terima baik oleh Sri Susuhunan Amangkurat II.
Pebruari 1686 Kapten Francois Tack terbunuh oleh Suropati di halaman
istana Kartasura, ketika tentara VOC akan menangkap Suropati. Karena takut pada
VOC, Amangkurat II merestui Suropati yang di bantu Patih Nerangkusuma (ayah
Gusik Kusuma) pergi ke timur untuk merebut Kabupaten Pasuruan (Bupati
Anggajaya).
Dalam hal ini rakyat Madiun mendukung Untung Surapati baik berupa
harta-benda maupun bantuan prajurit Madiun. Maka VOC mendapat hambatan yang
serius ketika melakukan pengejaran Pasukan Surapati ke timur melewati wilayah
Madiun, dengan demikian secara langsung Madiun ikut berperang melawan Kompeni
Belanda. Banyak pemimpin Madiun yang menjadi senopati perang melawan tentara
VOC, diantaranya Sindurejo (kemudian menetap di Ponorogo), Singoyudo kemudian
menetap dan menjadi cikal bakal Desa Candi, Bagi Kecamatan Sawahan. Pertempuran
di Madiun banyak memakan korban pihak tentara VOC yang pimpin Kapten Zaz.
Tahun 1703 sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat II, terjadi perang
suksesi Jawa I (1704-1708), yaitu perang perebutan kekuasaan Kartasura antara
Amangkurat III (Sunan Mas) dengan pamannya yaitu, Pangeran Puger. Pangeran Puger
kemudian pergi ke Semarang, disana beliau diangkat sebagai Susuhunan oleh para
bangsawan dan Pemerintah Belanda.
Bupati Madiun Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel wafat karena usia
tua, putri sulungnya Raden Ayu Puger menggantikan kedudukan Bupati Madiun,
beliau juga membantu mengirim prajurit-prajurit Madiun untuk membantu
perjuangan Suropati. Tahun 11 September 1705 suami Bupati Madiun, Pangeran
Puger memasuki istana Kartasura, dinobatkan menjadi raja Mataram Kartasura
dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono I, tentunya Raden Ayu Puger mengikuti
suaminya bertahta di Kartasura, sebagai penggantinya ditunjuklah saudaranya
bernama Pangeran Harya Balitar menjadi Bupati Madiun.
Pada saat itu perang Surapati beralih ke timur, yaitu Pasuruan.
Untung Surapati berhasil menduduki tahta Bupati Pasuruan dengan gelar
Tumenggung Wiranegara. Untuk mengurangi jatuhnya korban, Susuhunan Paku Buwono
I memerintahkan Kabupaten Madiun untuk menghentikan perlawanan. Namun sudah
terlanjur banyak korban dari Madiun, diantaranya Kyai Ronggo Pamagetan,
Tumenggung Surobroto, dan Pangeran Mangkunegara dari Caruban.
Tahun 1705 Pangeran Sunan Mas (Amangkurat III) diusir dari istana
Kartasura dan bergabung dengan Untung Surapati di Pasuruan. Tahun 1706 terjadi
pertempuran hebat di Bangil, Benteng Untung Surapati dapat dihancurkan oleh
prajurit gabungan, Untung Surapati tewas tanggal 17 Oktober 1706. Peperangan
masih dilanjutkan oleh putra Suropati yaitu Raden Pengantin, Surapati dan
Suradilaga yang di bantu prajurit dari Bali sampai tahun 1708, akhirnya banyak
melarikan diri dan bergabung dengan Bupati Jayapuspita di Surabaya, sedangkan
Amangkurat III tertangkap dan di buang ke Srilangka.
Setelah perang Suropati selesai, iring-iringan prajurit gabungan
Kartasura dan VOC kembali melalui Kertosono, Caruban, Madiun, Ponorogo,
Kedawung dan sampai di Kartasura. Setelah perang Trunojoyo dan Suropati, selama
hampir 40 tahun keadaan Madiun aman dan tentram, VOC tidak mau ikut campur
urusan pemerintahan di Kabupaten Madiun. Bupati yang berkuasa pada waktu itu
adalah Pangeran Harya Balitar, dilanjutkan Tumenggung Surowijoyo dan Pangeran
Mangkudipuro hingga sampai masa Palihan Nagari.
MADIUN MASA PALIHAN NAGARI SURAKARTA DAN YOGYAKARTA
Palihan Negari atau sering disebut Perang Suksesi Jawa III, yaitu
ketika terjadi peperangan antara Susuhunan Paku Buwono III di bantu pasukan VOC
melawan Pangeran Mangkubumi, di bantu Raden Mas Said (terkenal dengan Pangeran
Samber nyawa), Perang ini berawal dari ikut campurnya VOC pada Pemerintahan
Surakarta dan di cabutnya hak Pangeran Mangkubumi atas tanah Sukowati (wilayah
Sragen) oleh Paku Buwono II, hal ini memang sudah diatur dan merupakan bagian
dari politik ”devide et impera” Kompeni Belanda
Peperangan dimulai 11 Desember 1749 sampai dengan 13 Pebruari 1755,
oleh para ahli sejarah perang ini sering disebut Perang Suksesi Jawa III. Dalam
perang ini rakyat Jawa Timur termasuk Madiun mendukung penuh perjuangan
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. pada waktu itu yang menjadi Bupati
Madiun adalah Pangeran Mangkudipuro merupakan Bangsawan dari Surakarta.
PANGERAN MANGKUDIPURO (1725 – 1755) berkedudukan di Istana Kranggan
(Ds.Kranggan sekarang, terdapat Puntuk Ndalem dan sawah alon-alon), selaku
Bupati Wedono, membawahi 14 bupati Mancanegara Timur yang memperkuat pertahanan
di wilayah Brangwetan, sedangkan yang memegang pemerintahan sehari-hari
diserahkan kepada seorang Patih sebagai pejabat Bupati Madiun, yaitu Raden
Tumenggung Mertoloyo ( 1726-1749).
Karena Kompeni Belanda sudah kewalahan oleh serangan Pasukan
Mangkubumi, terbukti sebagian besar pesisir utara (pekalongan,tegal dan
semarang) sudah bisa di rebut. Kemudian Gubernur Jendral Jacob Mossel yang
berkuasa di Bumi Nusantara (1750-1761) menugaskan Jendral Van Hogendorf untuk
mengadakan perundingan (politik Perdamaian) dengan para pemimpin peperangan
tersebut.
Raden Mas Said alias Pangeran Surjokusumo Prang Wadono, Pangeran
Mangkudipuro (Wedono Mancanegara Timur) dan Tumenggung Mertoloyo ( Pejabat
Bupati Madiun) terus menyusun kekuatan dan bertempur melawan Kompeni Belanda,
Raden Mas Said merasa dendam karena ayahnya, Pangeran Mangkunegara ( saudara
Susuhunan Paku Buwono II ) di asingkan oleh Belanda ke Sri langka.
Karena tekanan Belanda, maka tanggal 4 Nopember 1754, Susuhunan Paku
Buwono III mengirim surat kepada neneknya yang tembusannya di sampaikan kepada
Gubernur Jendral Jacob Mossel, isinya sebagai berikut : Saya permaklumkan
kepada nenek saya, kepada Tuan Gubernur Jendral, sesuai surat Gubernur serta
Direktur Nicolaos Hartings yang ditujukan kepada saya, tentang penyerahan
setengah wilayah Pulau Jawa yang mencakup Desa dan cacah jiwa penghuninya
kepada Pangeran Mangkubumi, saya amat senang dan gembira, mudah mudahan
penyerahan itu membawa kebahagiaan kepada pulau Jawa. Yang perlu diperhatikan
mohon dengan hormat jangan kiranya saya dilupakan . segala yang ada dalam hati
cucunda dan tuan, telah tertulis dalam surat ini.
Berdasarkan isi surat tersebut, dibuatlah suatu perjanjian ”
Perjanjian Gianti” Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755, ini awal pecahnya
Kerajaan Mataram dengan Politik Perdamaian antara Pangeran Mangkubumi, Paku
Buwono III dan Kompeni Belanda, yang isinya antara lain :
Pengangkatan Mangkubumi sebagai sultan yang sah atas wilayah separoh
pedalaman Mataram dan memerintah propinsi atau distrik di wilayah masing-masing
VOC yang di wakili oleh Gubernur Nicolaos Hartings sejak itu ikut
mengangkat, menetapkan dan mengakuinya sebagai sultan yang sah atas tanah yang
diserahkan kepada sultan sebagai tanah pinjaman dengan hak turun menurun. ( istilah
tanah pinjaman, hal itu dihubungkan dengan yang terjadi tahun 1749, sebuah
perjanjian antara Paku Buwono II yang sedang sakit keras dengan VOC bahwa
Pemerintahan Mataram Islam termasuk wilayahnya diserahkan ke kompeni.
Sultan, patih, bupati wedana, bupati yang di angkat sultan, sebelum
melaksanakan tugas diwajibkan menghadap sendiri ke semarang untuk menyatakan
kesetiaan pada Belanda
Sultan tidak diperkenankan mengangkat dan memecat patih, bupati,
wedana sebelum memberi alasan-alasan mengenai pemecatan kepada Gubernur
Jendral.
Sultan tidak berhak atas daerah pulau Mataram, pesisir Jawa bagian
utara, daerah tersebut adalah daerah yang sudah di peroleh VOC dari almarhun
Susuhunan Paku Buwono II pada perjanjian tanggal 18 Mei 1748. Sultan akan
membantu menjaga daerah tersebut, sebaliknya VOC akan membayar jika Sultan
menyerahkan hasil daerahnya dalam setahun dengan harga yang sudah ditetapkan
yaitu separoh dari jumlah harga 2000 real spanyol.
Sultan berjanji mengadakan ikatan, memberikan, memerintahkan menyerahkan
hasil bumi yang ada dan dari daerah pedalaman ke VOC atau pihak lain yang
mendapat ijin dari VOC untuk berhubungan langsung ke pedalaman dengan harga
yang sudah ditentukan.
Sultan mengakui segala bentuk perjanjian yang pernah di buat oleh
sultan-sultan sebelumnya yang mendapat persetujuan pula dari VOC antara lain
perjanjian tahun : 1705, 1733, 1743, 1746 dan 1749.
Jika sultan dan pengganti-penggantinya tak disangka terlebih dulu
menyimpang dari apa yang ditentukan atau secara sadar merubah persetujuan yang
bertantangan dengan perjanjian yang telah ada, hak atas seluruh tanah di
wilayah kasultanan tersebut hilang, artinya tanah pinjaman tersebut tadi
kembali ke VOC.
Dalam menanggapi isi perjanjian tersebut Prof. DR. Purbotjaraka :
dilihat dari segi adat suku Jawa, perbuatan Paku Buwono II tersebut sudah
selaras dengan adat Jawa, yaitu apabila seseorang akan meninggalkan rumah,
ladang dan pekarangannya, selalu menitipkannya kepada tetangga terdekat. Jadi
VOC tetap tidak berhak menetapkan diri sebagai pemilik wilayah kerajaan
Mataram. Maka Bupati Madiun, Pangeran Mangkudipuro tetap hanya tunduk pada
perintah Sultan.
Berdasarkan Perjanjian Gianti, Mataram di pecah menjadi dua,
pembagian ditentukan bersama oleh Gubernur Hartings dan Hamengku Buwono
didampingi Patih Danurejo I, dan Susuhunan Paku Buwono III yang di dampingi
oleh Patih Raden Adipati Mangkupradja I. Pembagian wilayah Mataram menjadi :
1. Kasunanan Surakarta Hadiningrat : Negara Agung ( sekitar
negara/kota) dan Mancanegara, yaitu : Kabupaten Jagaraga (Ngawi), Ponorogo,
separuh Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace (Nganjuk), Wirasaba
(Mojoagung), Blora, Banyumas, dan Kaduwang.
2. Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat : Negari Agung ( sekitar
negara/kota) dan Mancanegara, yaitu : Kabupaten Madiun, Magetan, Caruban,
separuh Pacitan, Kertosono, Kalangbret (Tulungagung), Ngrawa (Tulungagung),
Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Keras (Ngawi), Selowarung (Wonogiri),
dan grobogan (Jawa Tengah)
Dalam pemerintahan sehari-hari Kabupaten Madiun mendapat otonomi
terbatas sebagai kerajaan, hanya saja dalam hal-hal tertentu harus tunduk pada
Kompeni Belanda. Ikatan VOC tersebut yang dirasakan cukup berat adalah sistem
penyerahan wajib (verplichteleverantien), sesuai perjanjian diserahkan hasil-hasil
bumi tertentu yang harganya ditentukan sangat rendah. Pada waktu itu penduduk
Kabupaten Madiun 12.000 Kepala Somah (kepala keluarga) disebut ”karya” atau
mempunyai tugas didesa dan sebagai pemilik tanah garapan. Kabupaten Caruban 500
karya. Ketentuan penyerahan wajib adalah dua perlima bagian dari hasil tanah
garapan setahun sekali, yang harus diserahkan pada hari perayaan Maulud kepada
Bupati, kemudian Bupati Wedono dan diserahkan kepada Kompeni Belanda atau
perwakilannya.
Hasil tanah garapan wilayah Madiun , Caruban dan sekitarnya meliputi
: beras, kopi, gula, nila, tembakau dan kapas. Sampai tahun 1800, hasil beras
yang wajib diserahkan wilayah Madiun sejumlah 2.000 koyang (60.000 pikul
setahun)
Dalam pemerintahan pangeran Mangkudipuro, Kabupaten Madiun sengaja
memboikot kewajiban-kewajiban pada VOC, tindakan bupati Madiun ini tidak
berarti karena tidak taat pada Sultan Hamengkubowono tetapi membela rakyat
Madiun.
Kebijaksanaan dari Sultan Hamengkubuwono I, yang secara kebetulan
Kabupaten Sawo (Ponorogo) yang merupakan bagian dari kekuasaan Yogyakarta (
oleh Jogja dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk
memisahkan diri (mbalelo) dari Kasultanan Yogyakarta, maka Sri Sultan Hamengku
Buwono mengutus Bupati Madiun, Pangeran Mangkudipuro untuk menangkap hidup atau
mati Bupati Sawo dan kawan-kawannya, yang harus diserahkan sendiri di hadapan
sultan.
Menurut catatan Gubernur Pesisir Jawa Bagian Utara, W.H. Van
Ossenberch tanggal 13 Mei 1765, dikatakan bahwa ”wilayah Yogyakarta di daerah
Jawa Timur ( yang dimaksud Kabupaten Madiun dan Sawo ) penguasanya bertingkah,
membangkang VOC dan tinggal tunggu saat yang baik untuk mengangkat senjata
melawan VOC dan Kasultanan. Penguasa-penguasa tersebut telah membuat perjanjian
rahasia dengan para pejabat pusat Kasultanan Yogyakarta, antara lain dengan
Prabujoko, Malya Kusuma dan para pemberontak lainnya”. Demikian isi catatan
itu.
Pangeran Mangkudipuro yang sebenarnya sudah mempunyai perjanjian
rahasia dengan Bupati Sawo, namun belum siap untuk meletuskan pemberontakan
pada VOC, setengah hati dalam melakukan perintah Sultan Hamengkubuwono. Dengan
pasukan prajurit seadanya Pangeran Mangkudipuro berangkat ke Kabupaten Sawo,
oleh karena belum ada kontak terlebih dahulu dengan Bupati Sawo, pasukan
Kabupaten Madiun segera disergap prajurit Kabupaten Sawo. Pangeran Mangkudipuro
punggungnya terluka dan untuk menghindari pertumpahan darah yang sia-sia,
Pangeran Mangkudipuro memilih mundur, kembali ke Madiun. hal ini membuat Sri
Sultan marah, maka kedudukan Wedono Bupati Mancanegara Timur pun dilepas dan
Pangeran Mangkudipuro disingkirkan dengan diberi kedudukan sebagai Bupati di
Caruban.
Pengganti Mangkudipuro, diangkat seorang kepercayaan Sultan dan
merupakan salah satu panglima perang tangguh Kasultanan Yogyakarta ”Raden
Prawirosentiko” sebagai Bupati Madiun yang sekaligus merangkap sebagai Wedono
Bupati Mancanegara Timur, dengan gelar Pangeran Ronggo Prawirodirjo I.
RADEN PRAWIROSENTIKO ( Ronggo Prawirodirjo I ) Bupati Wedono Madiun
tahun 1755 – 1784 ( 29 tahun) adalah bangsawan keturunan Surakarta, namun
beliau memilih membantu pemberontakan Raden Mas Said yang juga bangsawan
Surakarta dan berhasil menduduki tanah Sukowati (sragen).
Pada waktu itu, untuk merebut tanah Sukowati, Paku Buwono II
menjanjikan, barang siapa yang dapat mengembalikan tanah Sukowati, maka daerah
tersebut akan diberikan dan diangkat sebagai penguasanya. Pangeran Mangkubumi
berhasil merebut tanah Sukowati dari tangan Raden Mas Said, namun Kompeni
Belanda tidak mau menerima kebijaksanaan dari Susuhunan Paku Buwono II,
menyerahkan Tanah Sukowati pada Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi bersatu dengan Raden Mas Said dan Raden Ronggo
Prawirosentiko, mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda yang sudah
keterlaluan ikut campur urusan Pemerintah Kerajaan. Raden Mas Said kemudian
diambil menantu oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkubumi kawin dengan
adik Ronggo Prawirosentiko yang bernama Raden Adjeng Manik. Perlawanan dari
ketiga tokoh ini mendapat dukungan yang sangat luas dari rakyat Mataram.
MADIUN DIBAWAH TRAH BUPATI PRAWIRODIRJO
Setelah Perjanjian Gianti Pangeran Ronggo Prawirosentiko di angkat
sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo dan
berkedudukan di istana lama di Kranggan.
Masa pemerintahan Ronggo Prawirodirjo I, dibangun istana baru di
Desa Wonosari, sebelah utara kali catur, tidak jauh dari istana Kranggan.
Istana ini digunakan sebagai kantor Dinas Bupati Wedono. Menurut buku ”De Stand
der Voedingsmidellen” oleh De Vorstenlanden. Struktur pemerintahan pada waktu
itu terdiri :
Bupati : dibantu kerabat ( kaum sentana) sebagai pemegang policy
daerah serta penerus perintah dari Pusat.
Patih : tugas pokok mengemudikan jalannya pemerintahan sehari-hari
Mantri Besar : tugas membagi pekerjaan negara dan sekaligus
mengawasi
Mantri : terdiri beberapa orang Mantri yang menguasai di bidang
masing-masing yaitu, Mantri Praja, Mantri Tani, Mantri Keuangan, Mantri Hukum
Beberapa Pegawai Istana
Kelima jajaran itu disebut Kaum Priyayi
Pada tingkat Desa susunannya adalah :
Bekel (Kepala Desa) : Pejabat pemerintahan di Desa
Carik : pelaksana jalannya pemerintahan
Kebayan : memberi perintah dan menarik pajak
Kepetengan : Mengatur keamanan desa
Modin : urusan keagamaan (islam) perkawinan, kelahiran dan kematian
Beberapa desa yang berdekatan , dibentuk seorang DEMANG dengan tugas
sebagai koordinator dari para Bekel dan beberapa Kademangan di bentuk lah
seorang Koordinator yaitu, PALANG atau disebut juga Lurah Palang.
Dalam Buku ”Kebudayaan Islam” oleh Mohammad Natsir mengutarakan
bahwa, pertemuan pejabat-pejabat tertentu biasanya dilaksanakan pada hari
Senin, Rabu dan Sabtu. Bertempat di Pendopo istana atau disebut Mandapan (
mandapa, Pendapa)
Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman
Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah
Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta
menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo
Prawirodirjo II (1784-1797) selama 13 tahun sebagai bupati ke 15. selain
berkedudukan di Istana lama, Kranggan beliau juga membangun kembali Istana
Wonosari (sekarang Demangan/Kuto Miring) sebagai Istana Bupati Wedono Madiun.
Raden Mangundirjo, adalah seorang yang pemberani, cakap dan lincah. Beliau
memperistri Putri Sultan Hamengkubuwono I.
RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari
Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau
suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga
sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung
Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya,
pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di
Yogyakarta. Beliau berkediaman di 3 tempat yaitu Yogyakarta, Maospati dan
Wonosari. Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta,
atas kehendak Belanda di Ds. Sekaran Bojonegoro (17-12-1810), kemudian
dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup dekat makam Imogiri. Tahun 1957 oleh
Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di
Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR
Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.
PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA
Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat
beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri
Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun
pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun
karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di
Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara
Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati
Danurejo II yang mengantek pada Belanda.
Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800
digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem
Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di
negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda,
maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.
Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan
Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara
protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana
Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun
utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk
sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena
dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo
Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak
senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang
sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.
Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan
hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda,
Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20
kapal perang Belanda.
Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi
kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati
Madiun.
Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den
Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika
perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing
bagus yang sedang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual
dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh kekilafan Raden
Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri
Agung Yogyakarta.
Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan
keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa
Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi
pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah
perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita
kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik
dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels
minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan
tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih
dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka
Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan
sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.
Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan
Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang
Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja
diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo
Prawirodirjo III di anggap bersalah.
Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan
Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa
adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di
wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan
digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III
menolak keras penebangan hutan tersebut.
Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo
Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada
Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar
diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri
Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah
ditetapkan Daendels.
2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.
(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)
3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat.
(karena beliau dianggap membahayakan Belanda)
4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke
Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.
Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral
beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan.
Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar
tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih
kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.
PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA
Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan
Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo
Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta
dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya
tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku
Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan
Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal
13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah
Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.
Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan
(ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau
dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang
menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita
karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta
kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah
Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan
Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi
permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat
khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat
dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang
ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung
Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat
tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan
dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang
oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang
telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap
Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya
dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau
juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung
perlawanannya terhadap Belanda.
Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan
Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut.
Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300
prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan
pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan
ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara
Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu
ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan
Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”
Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo
III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir
Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:
Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta
mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan
Prabhu ing Alogo”
Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta
menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara
Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan,
bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha
mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya
kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari
itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah
penghabisan
Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu,
perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka
mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya
diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa,
agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan
untuk melawan penjajah Belanda
Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran,
sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan
Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah
maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai
bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada
Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil
ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana
Yogyakarta.
Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran
tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka
ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen
Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.
Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung
rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van
Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister
Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II
akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu
dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan
sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi
pemberontakan Bupati Madiun.
Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku
Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit
infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung
Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan
Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di
pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima
perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.
Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi
pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh
pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung
Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo
Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.
Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung
Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu,
Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden
Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua,
ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh
pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan
perbatasan Magetan.
Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga
menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima
perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan
Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat
terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh
pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun.
Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam
hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa
ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari
tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah
dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.
Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki
pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan
induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke
Kabupaten Kertosono.
Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah
dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo
Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di
Yogyakarta.
Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan
Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang
kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus
adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.
Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo
III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13
Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke
Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati
Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.
Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa
Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden
Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan
Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani
dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.
Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang
bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden
Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda.
Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran
Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan
Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas,
berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan
Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.
Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo
III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar”
dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.
Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang
mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :
Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran
Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo
Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan
tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura
antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III
menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.
Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur
sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro.
Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau
dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas
pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX,
beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di
Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur
maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II
untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun.
Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi
kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama
Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di
Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang
Pangeran Dipokusumo
Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri
dari kasultanan Jogjakarta,
versi Peter Carey :
Prambanan
Klaten
Delanggu (21 November 1810)
Kartasura (22 November 1810)
Masaran *
Padas (24 November 1810)
Sragen *
Tarik (25 November 1810)
Jagaraga
Magetan (27 November 1810)
Maospati (28 November 1810)
Madiun
Sentul (3 Desember 1810)
Caruban (8 Desember 1810)
Tunggur (9 Desember 1810)
Berbek
Pace *
Nganjuk (10 Desember 1810)
Gabar
Kertasana (11 Desember 1810)
Munung (12 Desember 1810)
Pandhantoya
Cabean (14-16 Desember 1810)
Sekaran (16-17 Desember 1810)
* = daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III
Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn
kesultanan
PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik
pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk
sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.
YOGYAKARTA SETELAH PERLAWANAN BUPATI MADIUN
Sejak terjadi pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III
terhadap Belanda, disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang
kuat, bahkan setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda
menambah kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi
keinginan Belanda untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih
belum puas, tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke
Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan
mengangkat putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku
Buwono III. Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun
pengganti Raden Ronggo Prawirodirjo III ), Sultan Hamengku Buwono II kemudian
disebut Sultan sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu
seperti Grebeg Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya,
hadir mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.
Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke
Semarang oleh Hamengku Buwono II sebagai jaminan atas janji untuk menangkap
hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III, baru di kembalikan ke Istana
Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu pun, karena ada perubahan politik
dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis) yaitu, kekalahan Pemerintah
Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda menginginkan kedua pangeran
tersebut untuk di binasakan.
Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto
berpusat di India mengepung pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat
pertahanan pasukan Belanda di Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti
Daendels) yang semula Gubernur Kaap Kolonie ( Afrika Selatan) menghadapi nasib
tragis. J.W. Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan
mendapat bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat
simpati. Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam
membantu tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah
Yogyakarta. Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada
Jendral Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian
”Kapitulasi Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.
Pergantian Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh
Sultan Sepuh untuk mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan
Hamengku Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan
menjadi Putra Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan
pembersihan di lingkungan Istana, Patih Danuredjo II di bunuh dan
pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap dan dipenjara atau
di bunuh.
Setelah Kapitulasi Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan
kekuasaan di Nusantara kepada Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan
Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Rafless.
Pada masa Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II
mengajak Kasunanan Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram,
termasuk tata cara Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan
perlawanan kepada Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku
Buwono II ini membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran
Notokusumo, tanggal 18-20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral
Gillespie menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun
Pasukan Inggris berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun
tahta , Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra
mahkota), kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap
dan diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon
Pada tanggal 1 Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku
Buwono III untuk memenuhi keinginan Pemerintah Inggris , yaitu antara lain :
– Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh Pacitan, Rembang, Japan,
Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah Inggris yang diberi
ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun
– Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai angkatan bersenjata
yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton
– Memberikan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta kepada Pangeran
Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah Inggris.
Tanggal 17 Maret 1813 Pemerintah Inggris mengangkat serta
membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdiko di bawah
Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman dengan gelar Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815 kekuasaan Inggris di Nusantara
diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda
Tahun 1820, Bupati Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif
menjalankan roda pemerintahan dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika
penguasa berhalangan dibentuklah perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu
itu Patih Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun.
Penerus Trah Prawirodirjo yaitu Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum
cukup dewasa
MASA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke
enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya
kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran
Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden
Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro,
RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli
Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau
sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang
Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan
mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang
Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan
pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan
yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.
Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh
wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak
yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat
kekalahan Perang pada era Napoleon )
Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa
tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)
Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku
kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi
Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.
Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda membangun jalan
Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh
bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang Belanda.
Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya serangan mendadak
tentara Belanda di rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi
serta para pendukungnya di Tegalrejo.
Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun
1825-1826. periode II, tahun 1827-1830.
Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck
menyatakan sebagai berikut :
Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :
– Maospati
(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah
Mancanegara Timur )
– Wonorejo
– Kranggan atau Wonokerto
– Muneng dan Bagi
– Keniten (Ngawi)
– Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)
– Bangil (Ngawi)
– Purwodadi (Magetan)
– Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
– Ponorogo ( terdiri dari 6 kabupaten)
– Caruban
– Lorog ( Pacitan)
– Panggul (Pacitan)
Selain daerah Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan
bukan di bawah para Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa
Pangrambe, Desa Sentanan dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga
Domini-Domini Kerajaan.
Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk
pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau
Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai
Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota
Muneng ( sekarang masih dikenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten
Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi
merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk
wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat
bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara
Timur.
Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah Madiun yang memimpin
perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :
– Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran
Diponegoro ), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.
– Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul
– Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
– Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati
– Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
– Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi
– Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi
Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih
diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun
masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru
21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh
beberapa Bupati yang sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran
Diponegoro.
Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu
: Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung
Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang
Pangeran Diponegoro.
Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati
dan Panglima perang, walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung
Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.
Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk
semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.
Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825,
berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah
mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah
Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan
Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.
Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan
November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang
bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun,Maospati, Magetan, Muneng dan
Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu
Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick
ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.
Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara
dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan
lapangan dari Surabaya.
PERANG DIPONEGORO DI MADIUN
Kota Ngawi adalah sangat penting, sebagai pusat perdagangan dan
pelayaran. Maka Tanggal 13 Nopember 1825, pasukan Belanda dibawah pimpinan
Kapten Theunissen Van lowick berhasil merebut Kota Ngawi sebagai pertahanan
Pasukan Madiun, kemudian, 15 Nopember 1825 pasukan Madiun bergeser ke selatan
Kota Ngawi, namun akhirnya dikepung Pasukan Belanda dari utara oleh pasukan Van
Lewick dan dari barat pasukan Letnan Vlikken Sohild yang dibantu ratusan
Prajurit Kabupaten Jogorogo (wilayah Surakarta) akhirnya pasukan Madiun
berhasil di kacaukan, sekitar 60 prajurit gugur. Akhir tahun 1825, Belanda
mendirikan Benteng stelsel di Kota Ngawi yang di jaga 250 tentara, 6 meriam
api, dan 60 Kavaleri.
Di wilayah selatan pertahanan pasukan Madiun diletakan di Pacitan.
Peperangan dipimpin oleh Panglima Daerah Bupati Mas Tumenggung Djojokarijo, Mas
Tumenggung Jimat dan Ahmad Taris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan
berhasil dikuasai Belanda. Bupati Djojokarijo di pecat (mendapat pensiun
40 ), sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad taris ditangkap yang
nasibnya tidak diketahui.
Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung
Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh
pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo putra Diponegoro sendiri
dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825
seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga
Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda. Hingga awal tahun1826, Kota Kabupaten
Madiun belum menjadi medan peperangan Perang Diponegoro. Namun ditahun kedua
perang ini, Panglima Daerah Mas Kartodirdjo ditangkap di Madiun.
Semenjak pertahanan di Ngawi jatuh ke tangan tentara Belanda,
prajurit Madiun yang mundur ke wilayah barat (Jogorogo) akhirnya kembali
memusatkan pertahanan di Ibukota kabupaten Wonorejo, Madiun. Hal ini telah
diketahui pihak Belanda maka, 18 Desember 1825, dibawah Kapten Inf. Rosser yang
membawa pasukan Belandaa dari Madura, prajurit Mangkunegaran,di tambah tentara
dari Benteng Ngawi, dari selatan Belanda dibantu prajurit Kasunanan Surakarta
di Ponorogo. Terjadilah perang hebat, pada tanggal 18 Desember 1825, hingga
akhirnya pasukan Madiun berhasil dikalahkan, Pangeran Serang beserta istrinya
gugur sebagai kusuma bangsa. Beliau adalah menantu Pangeran Mangkudiningrat
karena anti Inggris, akhirnya dibuang oleh Raffless ke Bengkulu (1812)
sedangkan Pangeran Serang sendiri adalah keturunan Sunan Kalijogo dari
Kadilangu, Demak.
Seorang pangeran dari Pamekasan, Madura ikut terbunuh, pertempuran
meluas sejak tanggal 24 Desember 1825 hingga pada 9 Januari 1826, Panglima
Daerah Mas Kartodirjo berhasil di tangkap dan terbunuh. Walaupun demikian
beberapa Bupati masih setia dan tetap bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
Secara formal sejak 9 Januari 1826, Bupati wedono Mancanegara Timur, Ronggo
Prawirodiningrat sudah dibawah kekuasaan Belanda, beliau ditangkap dan dibawa
ke benteng Ngawi.
Namun dalam kenyataanyan baru tahun 1827 daerah Madiun aman dengan
didirikannya benteng Belanda beserta satu detasemen tentara dengan senjata
lengkap di dekat Istana Bupati Wedono Madiun di Desa Kartoharjo (pendopo Bupati
Madiun sekarang). Benteng tersebut dijaga oleh 135 tentara Belanda dengan 62
pucuk bedil, 2 meriam kaliber 31/4 inci dan ratusan prajurit Kasunanan
Surakarta dibawah pimpinan Letnan Infanteri Schnarburch. Bangunan benteng
tersebut mempunyai 2 menara penjagaan di utara dan selatan dapat mengawasi arah
Ponorogo, Istana Kabupaten dan Pasar Madiun (Prajuritan = Kelurahan Madiun
Lor).
Tanggal 15 Mei 1828 benteng Madiun sudah sempurna, dijaga oleh
ribuan tentara siang dan malam yang merupakan simbol di mulainya Kolonialisme
Belanda di wilayah Kabupaten Madiun. Namun secara yuridis, kekuasaan
pemerintahan kabupaten Madiun tetap di bawah Pangeran Ronggo Prawirodiningrat.
Menurut laporan Belanda tanggal 20 Mei 1828 hingga permulaan Juni 1828 masih
ada pemberontakan-pemberontakan kecil di sekitar Ibukota Madiun. Setelah Raden
Sosrodilogo tertangkap pada tanggal 3 Oktober 1828, maka keadaan sekitar Kota
Madiun kembali aman.
Juni tahun 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di
wilayah Madiun dengan pimpinan Raden Sosrodilogo yang akhirnya tertangkap 3
Nopember 1828
Sekarang Bupati Madiun berkedudukan di Pangongangan yaitu ditengah
Kota Madiun, sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah
seterusnya Bupati Madiun sampai sekarang menjalankan pemerintahan, sedangkan
makamnya ada di Kelurahan Taman (dulu Desa Perdikan) selain makam Kuncen.
Disini disemayamkan pahlawan-pahlawan pendiri Kabupaten Madiun pada waktu
lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat makam tersebut
diberikan hadiah satu wilayah Pedesaan sebagai tanah perdikan serta hak untuk
memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).
Nama Para Raja dan Bupati (Wedono Mancanegara Timur) Madiun :
Pada era Majapahit wilayah Madiun (Ngurawan) di bawah pemerintahan
Bre Pandansalas yang berkuasa adalah Dyah Suraprabawa yang kemudian menduduki
Bre Tumapel dan menjadi Raja Majapahit pada Th.1466 – 1468 yang kemudian di
gantikan oleh Prabu Kertabumi/ Bre Kertabumi.
Raden Adipati Gugur, Adipati Gegelang di Ngurawan (dsn. Ngrawan,
dolopo) dari th. … s.d. 1518
Pangeran Pati Unus berhasil menguasai Kadipaten Ngurawan serta
mempersunting Raden Ayu Lembah, Putri Raden Gugur. Raden Gugur adalah salah
satu putra Brawijaya V Raja Majapahit.
Kyai / Ki Ageng Reksogati 1518 – 1568 ( Perwakilan Demak / Penyebar
Agama Islam )
1. Pangeran Timoer 1568 -1586
( disebut juga Panembahan Rama atau Ronggo Jumeno)
2. Raden Aju Retno Djumilah 1586 – 1590 (dipersunting Panembahan
Senopati)
3. Panembahan Senopati 1590 – 1591
( nama Purabaya dirubah menjadi Mbediyun /Mediyun )
4. Raden Mas Soemekar 1591 – 1595
5. Pangeran Adipati Pringgolojo 1595 – 1601
6. Raden Mas Bagoes Petak
( Mangkunegoro I )1601 – 1613
7. Pangeran Adipati Mertolojo
( Mangkunegoro II ) 1613 – 1645
8. Pangeran Adipati Balitar Irodikromo
( Mangkunegoro III ) 1645 – 1677 ( terjadi perang Trunojoyo)
9. Pangeran Toemenggoeng Balitar Toemapel 1677 – 1703
10. Raden Ajoe Poeger 1703 – 1704
( terjadi pemberontakan Untung Suropati. RA Puger mengikuti suaminya
Pangeran Puger ke Kraton Kartasura )
11. Pangeran Harjo Balater 1704 – 1709
(Sebagai saudara maka menggantikan RA Puger)
12. Toemenggoeng Soerowidjojo 1709 – 1725
13. Pangeran Mangkoedipoero 1725 – 1755
( terjadi Palihan Nagari Yogyakarta dan Surakarta, Madiun di bawah
Pemerintahan Yogyakarta, kemudian diangkat Raden Ronggo Prawiro Sentiko oleh
Hamengku Buwono I sebagai Bupati Madiun
bergelar Ronggo Prawirodirjo I, berkedudukan di Istana Kranggan )
14. Raden Ronggo Prawirodirdjo I 1755 – 1784
( Istana Kabupaten dipindah ke Wonosari ( demangan/kutho miring)
15. Pangeran Raden Mangundirdjo (Ronggo Prawirodirdjo II ) 1784 –
1795
(Berkedudukan di Kranggan sebagai kedaton dan Wonosari untuk dinas )
16. Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo III 1795 – 1810
(Berkedudukan di Istana Wonosari, Maospati dan Yogyakarta)
17. Pangeran Dipokoesoemo 1810 – 1820 (saudara Pangeran Diponegoro)
18. Raden Toemenggoeng Tirtoprodjo
1820 – 1822
19. Raden Ronggo Prawirodiningrat 1822 – 1861,(saudara lain ibu
dengan Bagus Sentot Prawirodirjo )
20. Raden Mas Toemenggoeng Ronggo Harjo Notodiningrat 1861 – 1869
( karena kekuasaan Belanda, Bupati Notodiningrat hanya menjadi
Kepala Kantor Pemerintahan Kolonial / Rijkbestuur )
21. R.M. Toemenggoeng Adipati Sosronegoro 1869 – 1879 ( sebagai
Rijsbestuur )
22. Raden Mas Toemenggoeng Sosrodiningrat 1879 – 1885
( Belanda membagi Karesidenan Madiun menjadi lima regenschappen yang
masing-masing punya kedudukan yang sama, yaitu Madiun, Magetan, Ngawi ,
Ponorogo dan Pacitan )
23. Raden Arjo Adipati Brotodiningrat 1885 – 1900
24. Raden Arjo Toemenggoeng Koesnodiningrat 1900 – 1929
( muncul sekolah-sekolah formal di desa yang dikenal sebagai Volk
School selanjutnya disebut Vervolk School selama 2 tahun, tahun 1912 dibuka di
Kertohardjo yaitu Sekolah Kartini. Tahun 1918, Kabupaten Madiun di pisah dengan
wilayah perkotaan setelah adanya Gemeente Ordonatie berdasr Peraturan
Pemerintah 20 Juni 1918. )
25. R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesmen 1929 – 1937
26. R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesnindar 1937 – 1953
( Jepang masuk ke Madiun, juga sebagai penyokong perjuangan
kemerdekaan )
27. Raden Mas Toemengoeng Harsojo Brotodiningrat 1954-1956
28. Raden Sampoerno 1956 – 1962 ( sebagai Pejabat Bupati )
29. Kardiono, BA 1962 – 1965
( R. Kardiono adalah ipar Bung Karno,hilang tersangkut G30S/PKI )
30. Mas Soewandi 1965 – 1967
31. H. Saleh Hassan 1967 – 1973
32. H. Slamet Hardjooetomo 1973 – 1978
33. H. Djajadi 1978 – 1983
34. Drs. H. Bambang Koesbandono 1983 – 1988
35. Ir. S. Kadiono 1988 – 1998
36. R. H. Djunaedi Mahendra, SH. M.Si 1998 – 2008
37. H. Muhtarom, S.Sos 2008-2018
38. Ahmad Dawami (Kaji Mbing)
Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah di jamah oleh
orang-orang belanda atau eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang
Diponegoro, belanda menjadi tahu potensi daerah Madiun. Terhitung mulai tanggal
1 Januari 1832, Madiun secara resmi dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan
dibentuklah suatu tatanan pemerintahan yang berstatus karesidenan dengan ibu
kota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan
istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.
Sejak saat itu mulai berdatangan Bangsa Belanda dan Eropa lainnya,
yang berprofesi dalam bidang perkebunan dan perindustrian, yang mengakibatkan
munculnya berbagai perkebunan, yaitu perkebunan tebu dengan pabrik gulanya di
PG. Pagotan, PG. Kanigoro, PG. Rejoagung, PG. Purwodadie di Glodok, PG.Soedono
di Geneng, PG. Redjosarie di Kawedanan, perkebunan teh di Jamus dan Kare,
perkebunan kopi di Kandangan Kare, perkebunan tembakau di Pilang Kenceng dan
lain-lain. Mereka bermukim di dalam kota di sekitar Istana Residen Madiun.
Semua warga Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, karena
statusnya yang merasa lebih superior dari pada penduduk pribumi, mereka tidak
mau diperintah oleh Pemerintah Kabupaten Madiun. Selanjutnya untuk melaksanakan
segregasi (pemisahan) sosial, berdasarkan perundang-undangan inlandsche
gementee ordonantie, oleh Departemen Binenlandsch Bestuur, dibentuk Staads Gementee
Madiun atau Kotapraja Madiun berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 20 Juni 1918, dengan berdasarkan staatsblaad tahun 1918 nomor 326.
Pada awalnya, walikota (burgemeester) dirangkap oleh asisten residen
merangkap sebagai voor setter, yang pertama yaitu Ir. W. M. Ingenlijf, yang
selanjutnya diganti oleh Demaand hingga tahun 1927. Setelah tahun 1927 sampai
dengan sekarang, urut-urutan walikota yang pernah memimpin Kota Madiun adalah
sebagai berikut :
1. Mr. K. A. Schotman
2. Boerstra
3. Mr. Van dijk
4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7. Soedibjo
8. R. Poerbo Sisworo
9. Soepardi
10. R. Mochamad
11. R. M. Soediono
12. R. Singgih
13. R. Moentoro
14. R. Moestadjab
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
16. R. Soepardi
17. Soemadi
18. Joebagjo
19. Pd. Walikota R. Roekito, BA
20. Drs. Imam Soenardji ( 1968 s.d. 1974 )
21. Achmad Dawaki, BA ( 1974 s.d. 1979 )
22. Drs. Marsoedi ( 1979 s.d. 1989 )
23. Drs. Marsda M. Jasin ( 1989 s.d. 1994 )
24. Drs. Bambang Pamoedjo ( 1994 s.d. 1999 )
25. Drs. H. Achmad Ali ( 1999 s.d. 2004 )
26. H. Kokok Raya, SH, M.Hum ( 2004 s.d. 2009 )
27. H. Bambang Irianto, SH, MM (2009 s.d. 2017 )
28. H. Sugeng Rismiyanto, SH, M.Hum (2017-2018) menggantikan Bambang
Irianto
29. Drs. Maidi, SH.,MM
TANAH PERDIKAN DI WILAYAH MADIUN
Di wilayah Madiun dan sekitarnya terdapat beberapa kelurahan dan
desa yang dahulu kala pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram berstatus
sebagai tanah perdikan yang di bebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti
karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu dan berhak mengurus rumah
tangganya sendiri, yaitu tanah perdikan Taman, Kuncen (Demangan), Kuncen
(Caruban), Sewulan, Banjarsari, Giripurno (Magetan), Tegalsari (Ponorogo) dan
Pacalan (Magetan)
1. TANAH PERDIKAN KUNCEN
Pada masa penaklukan Mancanegara Timur oleh Panembahan senopati dari
Mataram, terjadi banyak korban dikedua belah pihak prajurit, Pusat peperangan
terjadi di sekitar sendang dekat istana Kabupaten di Wonosari (kuncen),
korban-korban tersebut dimakamkan di sekitar sendang. Panembahan Senopati
memberi otonomi luas pada daerah ini, dan mengangkat Juru kunci untuk
memelihara dan menjaga makam. Itulah sebabnya daerah ini disebut “Kuncen”
Desa Perdikan Kuncen terletak di arah barat laut Desa Demangan
(bekas Ibukota Wonosari atau pindahan Wonorejo), perlu diketahui, setelah
Wonorejo hancur akibat perang, pusat pemerintahan bupati bergeser ke timur
yakni menempati kutho miring (Demangan).
Makam Kuncen hingga saat ini masih di hormati dan dikeramatkan
masyarakat Madiun, para bupati Madiun yang di makamkan disini pada umumnya
bergelar Mangkunegoro, yaitu : Mangkunegoro I (Raden Mas Bagus Petak atau
Pangeran Adipati Djuminah), Mangkunegoro II (Raden Mas keniten atau Pangeran
Adipati Martoloyo), Mangkunegoro III (Raden Kyai Irodikromo ) , Mangkunegoro
IV. Sesuai daftar silsilah Bupati Madiun, para pejabat dan bangsawan yang di
makamkan disini adalah keturunan dari Pangeran Timur. Selain itu juga ada makam
Kyai Grubug, beliau berasal dari Banten dan sebagai pengasuh keluarga Bupati
Mangkunegoro I.
Hingga kini ada 14 kyai yang memimpin Desa Perdikan Kuncen, yaitu :
Kyai Grubug, Kyai Semin I, Kyai Semin II, Kyai Semin III, Kyai Semin IV, Kyai
Djodo, Kyai Mat Ngarif, Kyai Darsono, Kyai Sutopo, Kyai Karsono, dan Kyai
Kentjono
Selain Makam Kuncen, disini juga ada Masjid tertua di Madiun, yaitu
Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, makam
Mangkunegoro, serta sendang (tempat pemandian) yang dihormati dan keramat.
Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud
Nabi Muhamad, SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri dengan
dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau
dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.
2. TANAH PERDIKAN TAMAN
Pada masa pemerintahan Demak dan Pajang wilayah Taman masih berupa
hutan belukar, tetapi setelah peperangan Purabaya dan Mataram usai, Bupati
Madiun Pangeran Adipati Pringgolojo 1595 – 1601 merencanakan membangun istana
kabupaten di Hutan Taman, memilih taman karena di sana ada rawa-rawa yang luas
seperti telaga dengan air yang bersih, (sekarang disebut Ngrowo)
Tahun 1703, Pada saat Kasunanan Kartasura, Raden Ayu Puger, istri
Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berkeinginan membangun Taman
sari di daerah ini, maka daerah rawa-rawa ini disebut “Taman”.
Tahun 1725, ketika yang memerintah Bupati Pangeran Mangkudipuro, di
daerah ini didirikan makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama.
Tahun 1784, oleh Sultan Hamengku buwono I, makam Taman ditetapkan
sebagai Makam keluarga Bupati Ronggo Prawirodirjo I dan penerusnya.
Hingga sekarang ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Makam Taman,
yaitu : Pangeran Mangkudipuro, Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II,
Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario
Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario
Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen, dan
Tumenggung Ronggo Kusnindar. Makam Taman juga disebut Makam Karanggan (Makam
Keluarga Ronggo).
Sejak saat itu, dengan piagam bertulis huruf Jawa Arab (pegon)
dengan tinta kuning emas, Desa Taman diberi otonomi luas dengan Kepala
pemerintahan desa bergelar Kyai yang diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi
Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Ronggo
Prawirodirjo I. Hingga sekarang yang menjabat Kyai Taman sebagai berikut :
Raden Ngabehi Kyai Ageng Misbach
Kyai Ageng Moch Kalifah
Kyai Moch Rifangi
Kyai Donopuro I
Kyai Benu
Kyai Surat
Kyai Donopuro II
Kyai Imam Ngulomo
Kyai Tirto Prawiro
Kyai Raden Kabul Umar
Kyai Raden Banuarli.
Raden Koento Purnomo (sebagai Kepala Desa biasa sejak Tahun 1964)
Desa Perdikan Taman juga di beri mandat oleh Kasultanan Jogjakarta
untuk merawat sebilah Tombak Pusaka “Kyai Sidem Pengayom” panjangnya 4 meter.
Pada masa Desa Perdikan Masjid Taman disebut Masjid Donopuro. Hal
itu sesuai dengan julukan para kyai pemimpin Desa Perdikan Taman. Baru setelah
masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam
daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi
Masjid Besar Kuno Madiun.
Melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama
inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun di mulai. sejumlah
tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya
perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian
makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional
seperti tahu dan tempe. sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam
memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau
kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo
memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu
tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan
aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar
seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor
dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir
musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan
(tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama
sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak. Dikatakan, baik
bangunan dalam masjid maupun pendopo joglo masjid merupakan bangunan utama
masjid kuno tersebut.
3. TANAH PERDIKAN KUNCEN CARUBAN
Istilah Caruban mungkin bermakna “Campuran” disini dahulu tempat
berkumpulnya semua golongan masyarakat mulai dari petani, bangsawan, pejabat
untuk adu jago, maka tempat ini kemudian disebut Caruban. Caruban merupakan
wilayah pedesaan yang sangat tua, disini juga pernah menjadi ibukota
pemerintahan Kabupaten.
Pada perang Trunojoyo, Caruban pertama kali dilalui pasukan tempur
Kompeni dibawah pimpinan Jendral Hurd dengan 214 tentara Belanda, 1.000
prajurit Mataram. Tanggal 5 Oktober 1678 mereka menyeberangi Sungai Madiun di
Desa Kajang kemudian lewat Caruban menuju ke lereng Gunung Kelud, Kediri.
Pada masa pemberontakan Untung Suropati terhadap Kompeni Belanda
tahun 1684, dilanjutkan perebutan tahta Kasunanan Kartosuro antara Sunan Mas
dengan Pamannya Pangeran Puger, rakyat Caruban ikut andil dalam memerangi
Kompeni Belanda di bawah pimpinan Demang Tampingan bergabung dengan Pangeran
Mangkunegoro IV, Bupati Madiun.
Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten di Caruban, ada
kemungkinan Bupati Pertama di Caruban bernama Raden Cokrokusumo I atau
Tumenggung Alap-alap, beliau semula pegawai tinggi dari Kasultanan Demak, putra
sulung Raden Pecattondo II, Raden Pecattondo I sebagai Adipati Terung (wilayah
Majapahit terakhir) Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II berjuluk
Tumenggung Emprit Gantil, kemudian Bupati berikutnya Raden Tumenggung Notosari.
Bupati Raden Tumenggung Notosari adalah putra Bupati Jipang yaitu, Raden
Tumenggung Purwowidjoyo ( putra Susuhunan Paku Buwono I dari garwa selir)
Dari perintah Bupati Notosari inilah kemungkinan salah satu desa di
Caruban yang bernama “Kuncen” selatan Desa Sidodadi dijadikan Desa Perdikan,
yaitu sebagai tempat makam keluarga Bupati Raden Tumenggung Notosari dan para
pengikutnya. Piagam keperdikaan desa ini menunjukan tahun wawu 1627 saka atau
1705 masehi oleh Susuhunan Paku Buwono I.
Bupati berikutnya adalah, Raden Tumenggung Wignyosubroto putra
bupati sebelumnya, memindahkan ibukota kabupaten ke arah Caruban sekarang atau
disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang. Bupati terakhir adalah
Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran
Pedanten, Beliau kawin dengan putri Pangeran Mangkudipuro Bupati yang dipindah
oleh Sultan Hamengku Buwono I dari Madiun ke Caruban.
Jadi Desa Kuncen Caruban ditetapkan sebagai Desa Perdikan karena
disitu di makamkan para Bupati dan bangsawan keturunan dari Kasunanan
Kartosuro. Para Bupati yang di makamkan disini yaitu: Raden Cokrokusumo I,
Raden Cokrokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung
Wignyosubroto, Pangeran Mangkudipuro, Raden Tumenggung Djayengrono.
4. TANAH PERDIKAN SEWULAN
Situs Perdikan Sewulan adalah cagar budaya peninggalan kerajaan
Mataram yang masih tersisa hingga sekarang. Meski sudah berumur hampir tiga
abad, arsitektur kuno yang terpajang masih kokoh berdiri. Gapura besar berwarna
putih berdiri kokoh. Ornamen kaligrafi menghiasi setiap bagian dari gapura itu.
Di bagian paling atas tertulis Masjid Agung Sewulan. Dan di kanan kirinya
diberi corak bunga berjajar.
Situs Sewulan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Madiun.
Apalagi, tempat ini merupakan salah satu cagar budaya peninggalan kerajaan
Mataram yang tersisa. Pembangunannya pada tahun 1714 oleh Kiai Ageng Basyariyah.
Beliau dulu adalah seorang Kiai pimpinan Pesantren dan juga sebagai penyebar
Agama Islam di wilayah tersebut.
Nama sewulan berasal dari kata sewu wuwul (seribu hektar)
berdasarkan cerita, pendiri Desa Sewulan bernama Bagus Harun, seorang santri
dari Tegalsari, Ponorogo. Pada waktu pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II,
yang memerintah mulai tahun 1727-1749, terjadi pemberontakan Tionghwa (geger
pecinan) , tahun 1741 terjadi peperangan hebat di kraton Kartosuro, Susuhunan
minta bantuan pada kyai Besari di Tegalsari, oleh Kyai Besari di kirim seorang
santri, yaitu Bagus Harun. Karena Bagus Harun mampu menyelesaikan tugas, dan
pemberontakan bisa dipadamkan, Bagus Harun di beri hadiah tanah sewu wuwul
(1000 ha) yang dipilihnya sendiri, seterusnya disebut Sewulan.
Sekitar tahun 1742, Desa Sewulan mendapat kemerdekaan penuh dari
Kasunanan Kartosuro, Paku Buwono II. Kepala Perdikannya adalah seorang Kyai dan
berkuasa turun-temurun, hingga tahun 1962, para Kyai Sewulan, yaitu: Ki Bagus
Harun atau Kyai Achmad Basyariah, Kyai Mahdum, Kyai Mustaram I, Kyai Mustaram
II, Kyai Wirjogulomo, dan Kyai Muhammad Ichwan, setelah itu Sewulan menjadi
Desa Biasa. Ciri khas kekaryaan Desa Sewulan adalah pengrajin Barang dari Besi
atau Pande, pelopornya bernama Nitikromo dari Jogjakarta dan Nuryo yang asli
dari sewulan. Yang amat menarik ialah adanya empu yang bernama Mohamad Slamet,
beliau masih keturunan Empu Suro dari Demak.
Pada masa pemerintahan Belanda, Sewulan tetap berstatus Desa
Perdikan, karena Belanda menghargai pejuang yang berasal dari Sewulan, yaitu:
Panglima Perang Mancanegara timur ”Surodilogo” waktu Perang Diponegoro.
Desa Sewulan ini juga menjadi kenangan Almarhum Kyai Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) ketika masih kecil. Gus Dur merupakan salah satu keturunan
kedelapan Kiai Ageng Basyariyah. Jadi di Sewulan inilah, tempat bermain tokoh
yang pernah menjadi Presiden RI itu, sebelum akhirnya hijrah ke Jombang. Selain
Gus Dur, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai keturunan Kiai
Ageng Basyariyah.
5. TANAH PERDIKAN BANJARSARI (WETAN DAN KULON)
Letak Desa Banjarsari bersebelahan dengan Desa Sewulan, secara
etimologi kata Banjarsari berasal dari Ganjaran dan sri , artinya: Hadiah dari
Raja
Belum diketahui secara pasti terjadinya Desa Banjarsari menjadi
perdikan, dengan adanya Palihan Nagari Jogjakarta dan Surakarta pada tanggal 13
Pebruari 1755, Sultan Hamengku Buwono I naik tahta, pada saat itu salah satu
kabupaten Mancanegara timur, yang merupakan wilayah Kasultanan Jogjakarta
yaitu, Kabupaten Singosari, seolah-olah membangkang perintah sultan, Bupati
Singosari tidak mau mendatangi pisowanan rutin yang diadakan Kesultanan
Jogjakarta. Sebagai bawahan dari Wedono Mancanegara Timur, maka Pangeran Ronggo
Prawirodirjo I berangkat ke Singosari dengan dikawal 40 prajurit pilihan dan
seorang pendamping santri dari Pesantren Tegalsari Ponorogo yang bernama
Muhammad Bin Umar atas perintah Sultan.
Dipingir kali porong, atas permintaan Bin Umar rombongan berhenti
sejenak untuk menanak nasi, nasi bukan untuk dimakan tetapi sebagai sarana agar
rombongan prajurit tatkala memasuki kraton Singosari tidak diketahui musuh.
Nasi liwet ini disimbolkan “lewat selamat” ternyata hal ini berhasil,
selanjutnya Bupati Singosari di bawa menghadap ke Kasultanan Jogjakarta.
Sultan Hamengku Bowono I, kagum mendengar cerita tersebut, seketika
itu beliau menghadiahkan bumi Banjarsari kepada Muhammad Bin Umar, sebagai
tanah perdikan pada tahun 1763. Sekitar tahun 1793 Desa perdikan Banjarsari
dipecah menjadi dua sebagai pembagian ahli waris, menjadi Banjarsari Wetan dan
Banjarsari Kulon.
Penguasa Desa Banjarsari sebelum pecah, yaitu: Kyai Ageng I Muhammad
Bin Umar, Kyai Ageng II Muhammad Imron, Kyai Ageng III Muhammad Maolani.
Kyai Ageng III ini sebagai wali, karena putra Kyai Ageng II “Tofsiranom”
masih berusia 3 tahun. Setelah Kyai Tofsiranom dewasa sebagian wilayah Desa
Perdikan diberikan kepada Muhammad Maolani yang berjasa menjadi wali saat
Tofsiranom masih kecil. Pemimpin kedua Banjarsari selanjutnya sebagai berikut :
Banjarsari Wetan :
Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai Sosro Ngulomo, Kyai
Abdul hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji
Banjarsari Kulon :
Kyai Mohammad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Djajadi II, Kyai
Mukibat , Kyai Djojodipuro.
Kyai Raden Abdul Hamid dari Banjarsari Wetan merupakan tokoh pendiri
Perguruan Ilmu Sumarah (aliran kepercayaan) yang memiliki pengikut ribuan
bahkan ada yang dari luar negeri.
Aliran Kepercayaan Sumarah di plokamirkan di Jogjakarta tahun 1935
oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Raden Abdul Hamid.
Latar belakang pendirian perkumpulan tersebut adalah segera
tercapainnya Indonesia Merdeka dan perdamaian dunia. kerajinan yang sudah
dikembangkan oleh Kyai Banjarsari adalah pembuatan sapu ijuk.
Walaupun desa Perdikan diberi otonomi yang luas oleh Kasultanan,
akan tetapi setiap Kyai Perdikan punya kewajiban sebagai tanda kesetiaan pada
kasultanan, yaitu setiap bulan Maulud Kyai dan beberapa pejabat desa harus
menghadap Sultan Jogjakarta. Kesetiaan Desa Perdikan Banjarsari ini terbukti,
ketika tahun 1940, Pendopo Kabupaten Madiun terbakar habis maka pendopo Desa
Perdikan Banjarsari dibongkar dan di Berikan untuk mengganti pendopo Kabupaten
yang terbakar.
Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun.
Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid,
Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Sejak tahun 1963
pemerintah menghapuskan daerah perdikan (otonom). Kyai terakhir dari Banjarsasi
Wetan adalah Kyai R. Istiadji bin Kyai Ismangil, sedang Banjarsari Kulon Kyai
R.Djojodipoero. Di perdikan tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang
dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah
Banjarsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah pusaka yang ditempati keluarga
besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh
keluarga Abdul Khamid.
6. TANAH PERDIKAN GIRIPURNO
Tanah perdikan Giripurno ditetapkan oleh Sultan Hamengkubuwono II
Karena di Gunung Bancak Giripurno terdapat makam anak seorang raja, maka
Giripurno dijadikan Perdikan. Kyai Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola
daerah Perdikan itu.
Kyai Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari,
meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, Beliau di Giripurno mendirikan
pondok pesantren. Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana dan banyak
didatangi orang karena kearifannya. Juga terdapat kyai yang termashur yaitu
kyai Kaliyah, seorang yang meguru (berguru) kepada beliau
adalah Kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga
isteri Ronggo Prawirodijo III. Tidak menutup kemungkinan Ronggo Prawirodijo III
adalah murid beliau juga.
Selain Kanjeng Gusti Ratu Maduretno (garwo padmi) beliau masih
mempunyai isteri lain yang berasal dari Madiun (garwo paminggir). Alibasah
Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir
tersebut.
Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku
Buwono II, maka beliau memilih setelah wafat, dimakamkan di Gunung Bancak,
Giripurno.
Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan
sekaligus senopati perang Hamengku Buwono II, Ketika Pangeran Mangkubumi
(Hamengku Buwono I) memisahkan diri dari Surakarta dan Membangun Yogyakarta.
Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III yang berjasa
mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu
daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada
akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati di Madiun, membawahi
bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan
Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa
cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.
Ronggo Prawirodirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat
anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga
anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah
perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta “pating dlemok”, ada yang masuk
Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan
perang gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan
untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya
ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para “blandong”, yaitu penebang kayu di
hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.
Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering
membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena perannya
yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo
II yang merupakan antek Belanda. Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo
III ditangkap hidup atau mati, maka patih Danurejo II menyusun siasat untuk
menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran
Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo
III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. Tanggal 17 Desember 1810
terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran
Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan
tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan
Dipokusumo.
Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo
Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara
sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan
berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai
Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk
membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak
Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah
Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban
Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik ”Devide et
impera”
Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Yogyakarta dengan upacara
kebesaran di makamkan di Banyu Sumurup komplek makam Imogiri. GKR Maduretno,
isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Yogyakarta dan
mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan
hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di
istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas
pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX,
beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di
Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari
tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II,
bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan
penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna memenuhi permintaan Belanda,
Danurejo juga telah mencuri stempel Kraton Yogyakarta untuk mengeluarkan
perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton,
yang kemudian dikenal sebagai “patih sedo kedaton”.
7. TANAH PERDIKAN TEGALSARI, PONOROGO
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama
Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa
terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah
sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai
Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok
Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan
berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan
santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir
seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa
menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa
sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), Bantengan, dan lainnya. Jumlah santri
yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang
itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang
menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada
yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan,
pengusaha, dll. sebagai contoh adalah Susuhunan Paku Buwono II atau Sunan Kumbul,
penguasa Mataram Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang
Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto
(wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang
Paku Buwono II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal
30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin
oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), seorang Pangeran keturunan Tionghoa.
Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat
sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buwono II bersama
pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur
Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah
kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian
Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa
Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan
dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari
segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta
berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku
Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki
tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Hasan Besari
menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan
Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari
menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala
kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra
ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai
Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi
ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad
ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari
mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang
santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin,
putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan
Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka
setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia
diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya
menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang
Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk
mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
PENINGGALAN SEJARAH KERAJAAN DI WILAYAH MADIUN
1. PRASASTI SENDANG KAMAL
Prasasti Sendang kamal berlokasi di dukuh Sumber, Desa Kraton,
Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan. Dari jalan Raya Solo Madiun sekitar 1 km
dan ada papan bertuliskan “Prasasti Sendang Kamal +- 1 km” di kiri jalan.
Sebelum masuk ke lokasi situs ini, Anda akan melihat patung monyet
dan gapura yang memperlihatkan tulisan Jawa dan 2 orang duduk bersila. Lalu
saat masuk ke dalam lokasi yang berukuran 35×15 meter ini, Anda akan melihat 3
batu prasasti, sebuah bangunan Belanda tak beratap yang dibangun tahun 1927,
dan sebuah kolam di belakang bangunan tersebut.
Prasasti ini sebenarnya berjumlah 4 tetapi menurut buku “Cagar
Budaya Prasasti Sendang Kamal” yang mengadopsi pula dari buku terpercaya, bahwa
sebuah lagi dibawa dan disimpan di Museum Betawi. Padahal, dari keempat batu
prasasti yang dapat dibaca hanya 1 yang berada di Museum Betawi ini.
Isi prasasti tersebut ada dua versi, salah satunya adalah bentuk
pengabdian punggawa kepada raja dengan mempersembahkan 400 ekor sapi. Kerajaan
yang dimaksud adalah Kerajaan Kediri. Sedangkan mengapa dinamakan “Sendang
Kamal”, ada berbagai versi dan salah satunya karena kolam yang berada di
belakang bangunan Belanda itu pada saat digunakan mandi oleh salah satu bupati
dari Madiun, airnya menjadi jernih yang warnanya putih kebiru-biruan mirip
Telur Kamal (kini sering disebut telur Asin dari telur bebek).
Versi lain menceritakan bahwa, sekitar 70 tahun setelah masa
pemerintahan Pu Sindok dari Mataram Kuno (Medang), diantara kurun waktu
tersebut tidak didapat informasi mengenai pemerintahan raja-raja hingga
munculnya pemerintahan Raja Airlangga. Prasasti Kawambang Kulwan berada di
kurun waktu yang kosong itu, dengan angka tahun 913 S. Walaupun nama raja pada
prasasti ini tidak terbaca tetapi dari angka tahun dan sumber data lain yang
mendukung seperti kitab Wirataparwa yang ditulis tahun 918 S menyebut diantara
tahun tersebut diperintah oleh Raja Dharmmawangsa Teguh.
Informasi yang didapat pada prasasti Kawambang Kulwan adalah berupa
penetapan sima di desa Kawambang Kulwan yang berupa sima swatantra dari sri
maharaja (Dharmmawangsa Teguh) yang diteruskan oleh Pu Dharmmasanggramawikranta
dan diterima oleh Samgat Kanuruhan Pu Burung tentang pendirian bangunan suci
untuk dewa Siwa dan adanya ajaran kitab Siwasasana. Upacara tersebut dihadiri
oleh para samgat dari berbagai daerah di sekitar desa Kawambang Kulwan.
Prasasti berhenti pada bagian pemberian hadiah, tidak tertutup kemungkinan
terdapat kelanjutan dari isi prasasti ini di bagian batu yang lain. Disekitar
desa ini juga banyak ditemukan prasasti namun kebanyakan inskripsinya sudah
rusak, diantaranya Prasasti Tegalturi, Prasasti Sumberejo, Prasasti Ngujung,
Prasasti Keteng Bendo, dan Prasasti Bulugledeg.
2. PRASASTI MRUWAK (1108 SAKA/1186 M)
Prasasti ini ditemukan oleh Mahasiswa Jurusan sejarah IKIP PGRI
Madiun bulan Juli tahun 1975, saat mengadakan kegiatan Kuliah Kerja lokal. Yang
dibimbing oleh Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs. Arief Soekowinoto.
Prasasti Mruwak. Isi pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak
menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak
luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi
semula.
Prasasti Mruwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang
berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi
prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya
berbentuk bunga padma. Prasasti Mruwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang
dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada
beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang
menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23–24).
Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang
sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak
berangka tahun 1108 Åšaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya
Åšastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan
sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di
dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah KÄ•ting
yang berasal dari Dukuh Sirah KÄ•ting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa
Timur yang berangka tahun 1126 Åš (Wardhani,1982:161).
Berdasar keterangan dalam Prasasti Mruwak, Desa Mruwak pernah
mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak mendapat serangan
dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti Mruwak yang berupa
prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang tidak lain merupakan
penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa penyerangan tersebut disebutkan
dalam sambandha dan isi prasasti.
Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan
Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti
Mruwak dan Sirah KÄ•ting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis.
Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung
Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang
menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam
prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar
yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk
setempat dinamakan Kali Catur.
Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang
dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya
berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa
itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini
tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat
perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar
dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras
karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai
memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani,
namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan
dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa,
serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mruwak
menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.
3. PENINGGALAN SEJARAH NGLAMBANGAN
Peninggalan Sejarah Nglambangan, merupakan situs peninggalan
bersejarah yang berlokasi di desa Nglambangan, kecamatan Wungu, tepatnya
berjarak 8 km kearah timur kota Madiun menuju desa Dungus. Lokasi ini banyak
dipergunakan untuk upacara ritual pada saat bulan-bulan syuro. Di tempat ini
terdapat peninggalan-peninggalan pada jaman Majapahit, yang antara lain berupa;
Pura Lambangsari, Pesiraman dan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitarnya,
tempat-tempat seperti: Rumah Eyang Kromodiwiryo, Watu Dakon yang dulunya
digunakan untuk menyimpan pusaka, Punden Lambang Kuning, Lumbung Selayur, Sumur
Kuno dan Sendang Jambangan.
Desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun. 50%
Penduduknya bekerja sebagai petani dan sisanya adalah pegawai dan pedagang.
Tanaman padi merupakan hasil bumi unggulan dari desa ini,, dalam satu tahun
desa ini mampu 3 kali panen padi, hal itu disebabkan para petani di desa ini
menggunakan pompa air untuk mengairi sawah mereka sehingga walaupun musim
kemarau para petani di desa ini tetap bisa menanam padi.
Ditengah Desa ini terdapat sebuah situs yaitu Situs Punden Lambang
Kuning atau yang lebih dikenal dengan nama Punden Nglambangan. Oleh pemerintah Kabupaten
Madiun situs ini telah diakui sebagai peninggalan purbakala, sehingga
keberadaanya perlu dilestarikan. Pohon-pohon yang berada dalam komplek situs
ini telah berumur ratusan tahun, sehingga suasana dalam komplek situs ini amat
tenang dan sejuk. Pada siang hari banyak penduduk desa yang berkumpul dan
beristirahat, bahkan tempat bermain anak-anak.
Pada setiap tahun di hari Jum’at legi di bulan suro atau Muharam
warga desa mengadakan bersihan atau bersih desa. Biasanya digelar pertunjukan
wayang kulit pada malam hari, reog dan langen beksan tayub pada siang harinya,
warga desa berduyun-duyun membawa nasi tumpeng untuk selamatan sebagai wujud
puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan, panen hasil bumi, dan
terhindarkan warga desa dari bencana dan wabah penyakit.
MADIUN PADA MASA KEMERDEKAAN
Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh
seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa, setelah Proklamasi Kemerdekaan,
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun Shi diubah
menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota.
Kemudian demi pemerataan wilayah berdasar UU Nomor 22 tahun 1948 maka menurut
Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kotapraja Madiun diperjuangkan diperluas dengan
mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan,
Josenan, Kuncen yang semula berstatus seperti Desa Perdikan Taman, Banjarejo,
Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo. Kemudian dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan wilayah 12 desa
dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun, karena
mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten Madiun,
sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan perubahan
batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960 bertempat di
Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati. Kemudian dengan Undang-undang Nomor
18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, Kotapraja
Madiun diubah dengan Kota Madya Madiun dengan wilayah 20 desa dan diperintah
oleh Walikota Kepala Daerah. Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU
Nomor 18 tahun 1965, maka Kota Madya Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah
Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah
Kotamadya Madiun diubah menjadi Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II Madiun.
Dalam Tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat
II Madiun, diusulkan pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan.
Dimana terhitung mulai tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya daerah Tingkat
II Madiun yang semula 1 Kecamatan, meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983
bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun
yakni Desa Ngegong, Sogaten, Tawangrejo, Kelun, Pilangbango, Kanigoro dan
Manisrejo, sehingga luas wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Madiun menjadi
33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana
masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.
LATAR BELAKANG BERDIRINYA PEMERINTAH KOTA MADIUN
Desentralisasi Pemerintah Hindia Belanda yang berlangsung sejak awal
abad XIX berjalan terus termasuk pula pembentukan Pemerintah Kota Madiun
terpisah dari Pemerintah Kabupaten Madiun, ada beberapa hal sebagai
pertimbangan pokok yang melandasi berdirinya Pemerintah Kota Madiun
1. POLITIK
Pada tahun 1911 didirikanlah Sarekat Islam di Solo sebagai
perkembangan bentuk baru dari Sarekat Dagang Islam yang lahir di Kota Solo juga
pada dekade pertama abad XIX. Para pendirinya tidak semata-mata untuk
mengadakan perlawanan terhadap orang -orang Cina tetapi untuk membuat front
melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ini merupakan reaksi
terhadap krestenings politik (politik pengkristenan) dari kaum Zending,
perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan oleh pihak ambtenar-ambtenar
bumiputera dan eropa.
Berdasarkan Anggaran Dasar Sarikat Islam bertujuan mengembangkan
jiwa berdagang, memberi bantuan kepada anggota-anggota yang menderita
kesukaran, memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat
bumiputera, menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam, maka Sarekat
Islam tidak berisikan politik. Tetapi seluruh aksi perkumpulan itu dapat
dilihat, bahwa Sarikat Islam lain tidak melaksanakan suatu persetujuan
ketatanegaraan. Selalu diperjuangkan dengan gigih keadilan dan kebenaran
terhadap penindasan dan lain-lain keburukan bagi pihak pemerintah, dan disertai
oleh wartawan-wartawan Indonesia yang berani. Periode Sarikat Islam itu
dicanangkan oleh suatu kebangunan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah
berani melawan pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda, menghadapi
situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner, menempuh
jalan hati-hati. Gubernur Jendral Idenburg meminta nasehat dari para residen
untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya untuk sementara Sarikat
Islam tidak diijinkan berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya
diperbolehkan berdiri secara lokal. Tindakan ini bertujuan untuk mematahkan
Sarekat Islam menjadi pergerakan politik berskala nasional. Tetapi waulupun
demikian tetap terjalin adanya hubungan antar Sarekat Islam lokal lewat
pengurus masing-masing. Sarekat Islam mendapat perhatian ekstra oleh Pemerintah
Hindia Belanda, tentu saja mencakup Sarekat Islam di Madiun.
2. SOSIAL
Nama Madiun lahir pada tanggal 16 Nopember 1690, untuk menggantikan
nama lama Purabaya. Madiun sebagai tempat dan pusat pemerintahan daerah
Kabupaten di bawah Bupati terus berkembang sebagaimana umumnya kota-kota di
pedalaman Jawa yang tumbuh dan berkembang pada Jaman Madya. Pada Tahun 1830
Madiun dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda yang sejak tahun itu pemerintah
Hindia Belanda menjalankan culturstelsel yaitu sistem tanam paksa di Jawa.
Orang belanda mulai masuk di Madiun dan jumlahnya semakin bertambah banyak
terlebih setelah sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1970 diganti dengan
tanaman bebas dan pengusaha bebas.
Orang kulit putih Belanda sebagai penguasa, orang Timur Asing yaitu
orang Cina dan Arab yang dapat dikatakan mempunyai kedudukan kuat dalam
percaturan ekonomi, bergerak di berbagai bidang usaha terutama perdagangan dan
produksi. Sedangkan pribumi sebagian besar merupakan petani, sebagian lainnya
pekerja pertukangan dan buruh. Kehidupan pribumi lebih lemah ditambah perlakuan
hukum ketatapemerintahan yang diskriminatif sangat menyulitkan bagi pribumi
untuk dapat maju. Pertambahan penduduk di madiun sangat pesat pada hal dari
segi ekonomi mereka lemah jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan, kehidupan
yang makmur sejahtera tidak indentik dengan angka kelahiran yang tinggi.
Lapangan kerja yang pertumbuhannya tidak sebanding dengan laju pertumbuhan
penduduk pribumi, ditambah lagi kurangnya lahan persawahan dikarenakan jatuh
kedalam perjanjian sewa tanah bagi kepentingan pengusaha pabrik gula untuk tanaman
tebu, maka berdampak terjadinya imigrasi intern oleh pribumi madiun ke daerah
lain di pulau jawa, hal ini bisa dilihat dengan dibukanya jalan kereta api yang
menghubungkan Kalisat dan Banyuwangi pada tahun 1901 merupakan salah satu
pendorong bagi migrasi dari Jawa Tengah ke ujung Jawa sebelah Timur yang masih
kosong. Sebagaimana dalam hal perkawinan terjadinya asimilasi etnis antara tiga
golongan masyarakat.
3. BUDAYA
Orang Belanda menganggap dirinya superior terhadap orang tionghoa
dan orang pribumi, demikian pula orang tionghoa menganggap dirinya lebih unggul
terhadap orang pribumi, namun demikian dalam bidang budaya tidak sebarapa dalam
pengaruh begitu terhadap budaya pribumi. Dalam hal ini di Madiun tidak terasa
pengaruhnya, gedung-gedung pemerintah dengan pilar-pilar berbentuk bulat
penyangga bagian atas bangunan bukan berasal dari belanda melainkan adopsi dari
seni bangunan romawi. Tiang dari bahan kayu jati masih dijumpai pada Masjid
Raya Baitul Hakim Madiun. Khusus untuk bangunan air hasil arsitektur belanda
terkenal mutunya sangat kokoh.
Sementara orang Tionghoa yang ikut-ikutan bangsa belanda merasa
super terhadap orang pribumi, hampir dipastikan bahwa tiada pengaruh kebudayaan
tionghoa bagi orang pribumi, pengaruh budaya mereka adalah petasan dan kembang
api, terus untuk pengembangannya terutama digunakan untuk kepentingan upacara
yaitu berupa mercon dan kembang api bukan untuk persenjataan api, dapat pula
ditambahkan budaya tionghoa yang ikut mewarisi usaha kerajinan tembikar di
Indonesia adalah barang porselin. Dalam Kontak budaya antara orang tionghoa dan
pribumi saling mempertahankan tradisi budaya mereka masing-masing, mungkin
lebih mengena kalau dikatakan saling menjaga tradisi budaya mereka tanpa
terjadinya proses akulturasi yang berarti.
Kalau di Madiun orang tionghoa beradaptasi diri dengan lingkungan
mayoritas komunitas pribumi dengan tujuan bahwa mereka tidak merasa terasing
lagi pula dari segi aspek-aspek kehidupan yang lain jelas memberikan
keuntungan. Demikian pembauran dapat dipastikan tidak dapat terjadi baik
pribumi maupun orang tionghoa nampak tetap menjaga kemurnian ras mereka
masing-masing andaikata terjadi jumlahnya sangat kecil dan itupun dikarenakan
alasan-alasan tertentu.
4. EKONOMI
Gubernur Jendral sebagai pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda
dalam pelaksanaan pemerintahan hanya bertugas sebagai pelaksana belaka. Adapun
garis besarnya pemerintahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kerajaan
Naderland. Salah satu tugas pemerintahan yang harus diemban Gubernur Jendral
adalah hal ekonomi. Pola Ekonomi pemerintah belanda adalah pola ekonomi liberal
yang telah digariskan pemerintah pusat kerajaan Naderland, pada prinsipnya
adalah pemberian kebebasan oleh pemerintah (penguasa) kepada pelaku-pelaku
ekonomi dalam usaha produksi sampai pemasaran didasarkan pada
peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam arti pemerintah
memberikan jaminan keamanan bagi para usahawan agar dapat berusaha secara
optimal.
Akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa proses desentralisasi
pemerintahan dengan dibentuknya pemerintahan kota beserta dengan dewan kota
nampak bahwa ada kepentingan kuat dari pemerintah hindia belanda untuk
memantapkan bahkan tidak mustahil untuk mempertahankan lestari berkuasa dan
menguasai indonesia. Pembentukan Pemerintahan Kota beserta dengan Dewan Kota
Madiun di dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia
Belanda) No. 326 tanggal 20 Juni 1918 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda atas
nama Ratu Kerajaan Belanda. lembaran negara ini terdiri dari 7 pasal
Pasal 1
Menunjuk pasal 8 Lembaran Negara No. 137 tanggal 22 Pebruari 1907
bahwa Ibukota Madiun mempunyai wewenang mengatur kebutuhannya sendiri (yang
sebelumnya diatur oleh penguasa lain) termasuk mengurus jalan negara di
lingkungan kerja Kota Madiun
Pasal 2
Menunjuk ayat 1 pasal 68 a Peraturan kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda menetapkan :
2.1. Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun
2.2. Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun disebut Kotapraja Madiun
Pasal 3
Anggaran belanja Kotapraja Madiun ditetapkan tersendiri dari
keuangan umum berjumlah f.28.175,- (dua puluh delapan ribu seratus tujuh puluh
lima gulden)
Pasal 4
4.1. Perkerataapian dan Taram diatur oleh Dinas tersendiri di luar
terpisah dari Kotapraja Madiun, keuangan umum Hindia Belanda tidak mengatur
terhadap kebutuhan
4.1.1. Perawatan, perbaikan, pembaharuan dan pelaksanaan pelbagai
pekerjaan tentang kendaraan umum, termasuk pekerjaan seperti penanaman lereng,
pengerjaan tanggul, tepi jalan dengan batu dan kayu, pintu air, parit dan
sumur, dinding pangkalan, juga pekerjaan yang penting lainnya seperti lapangan,
taman, memperpanjang got-got penting pada umumnya.
4.1.2. Penyiraman tanaman dan tepi jalan, mengangkat sampah di
sepanjang jalan oleh kendaraan terbuka, jalan-jalan dan taman
4.1.3. Penerangan jalan
4.1.4. Penanggulangan kebakaran
4.1.5. Tempat Pemakaman umum dengan pengertian bahwa biaya untuk
pelaksanaan kerja yang diluar kebiasaan akan diberikan bantuan keuangan oleh
Negara
4.2. Dalam kejadian yang istimewa dapat dengan permohonan yang
mendapat persetujuan Dewan Kotapraja, pekerjaan dilakukan oleh Negara
Pasal 5
5.1 Pemeliharaan yang mengurus apa yang disebut dan dimaksud pasal 4
berada didalam wilayah Kotapraja Madiun diserahkan kepada Kotapraja Madiun
terlepas dari kepemilikannya, demikian juga desa-desa diluar Kotapraja Madiun
seperti Desa Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terletak di tepi kiri sungai
Madiun tetap dikuasai oleh daerah-daerah pemukiman orang cina dan termasuk
pemeliharaan oleh Negara adalah puithis, dengan kewajiban penghuninya untuk
menjaga dan mengembalikan dalam keadaan baik apabila terjadi pengrusakan
Kotapraja mengawasi tanpa hak kepemilikan atasanmya
5.2. Jembatan dan saluran air yang terletak dibatas kotapraja
berdasar pasal 5.1. diatas, yang penting yang terletak di dalam Kotapraja
5.3. Gubernur Jendral membebaskan Kotapraja dari kewajiban yang
berada dalam pasal 5.1. tentang saluran air yang ditentukan untuk dibebas
tugaskan
Pasal 6
6.1. Untuk Kotapraja Madiun didirikan suatu dewan yang disebut
dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun.
6.2. Anggota Dewan berjumlah 13 orang, dengan susunan :
1. 8 (delapan) orang Eropa atau orang lain diluar Eropa yang
disamakan kedudukannya
2. 4 (empat) orang pribumi
3. 1 (satu) orang timur asing
Komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun yang
terdiri dari 8 (delapan) orang anggota eropa atau orang lain yang disamakan
kedudukannya, 4 orang pribumi dan 1 orang timur asing, oleh karena musyawarah
dewan dalam mengambil keputusan berdasar peranggota bukan pergolongan, tetap
dewan dikuasai oleh orang belanda.
6.3. Kepala Pemerintah Kotapraja Madiun adalah Ketua Dewan.
Pasal 7
7.1. Kecuali menentukan mengenai hal itu dalam peraturan
kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda, Surat Keputusan Desentralisasi dan
Peraturan Dewan Daerah, berisi lingkungan kerja Kotapraja Madiun pada pasal 5,
pengawasan yang dimaksud termasuk kebutuhan pemeliharaan yang diuraikan dalam
pasal 4, sejauh mana hal itu tidak harus dibayar oleh Kotapraja Pribumi atau
lainnya
7.2. Kecuali pemenuhan janji terhadap pemerintah dan penguasa lain,
dewan mempunyai wewenang mengatur kebutuhan Kotapraja Madiun
7.3. Keragu-raguan atau perbedaan tentang batas kewenangan tugas
pemerintah dari Kotapraja Madiun, dari penguasa lain dan dari Kotapraja Pribumi
diputuskan oleh Gubernur Jendral.
Demikian bahwa staatshlad Van Nederlandsch Indie No. 327 tahun 1918
tanggal 20 Juni tentang anggaran tahun pertama. Berdasar data primer pada
staatsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1918 No. 326 tanggal 20 Juni dan STVNI
tahun 1918 N0. 327 tanggal 2o Juni ditunjang data skunder yang bersifat
literer, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kotapraja Madiun berdiri pada :
Tanggal 20 Juni 1918 , pada saat itu desa-desa mana yang ditetapkan
menjadi daerah Pemerintahan Kota Madiun tidak tercantum dalam Staatsblad No.
326 tahun 1918 tanggal 20 Juni, Staatblad hanya menyebut dua Desa yaitu Desa
Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terletak disebelah kiri sungai Madiun dalam
status bukan Desa Daerah Kota Madiun, suatu bentuk pengesahan bahwa kedua Desa
tersebut diatas berada dalam wewenang lain di luar Kota Madiun.
Pada Bulan Maret 1942 Kota Madiun diduduki oleh pasukan Jepang dalam
kerangka Perang Dunia II (Pemerintah pendudukan Jepang menyebut perang Asia
Timur Raya), terdiri dari 12 Desa yakni :
1. Desa Sukosari
7. Desa Kejuron
2. Desa Patihan
8. Desa Klegen
3. Desa Oro Oro Ombo 9.
Desa Nambangan Lor
4. Desa Kartoharjo
10. Desa Nambangan Kidul
5. Desa Pangongangan 11.
Desa Taman
6. Desa Madiun Lor
12. Desa Pandean
Berdasar pada data dari masa awal pendudukan Jepang di Madiun itulah
dapat diketahui bahwa masa hari jadi Pemerintahan Kota Madiun, Desa Daerah Kota
Madiun ada 12 Desa. Burgemeester (Walikota) Kepala Pemerintahan Kota Madiun
pada masa itu dijabat oleh asisten resident dalam jabatan rangkap berarti
disamping menjabat sebagai residen merangkap Walikota.
Pemerintah Kota Madiun didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 20 Juni 1918 berlanjut pada masa pendudukan Jepang Maret 1942,
bersambung pada masa pemerintahan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
terselingi oleh Pemerintahan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) 19
Desember 1948 s/d 29 Desember 1949 dan berakhir kembali kedalam pemerintahan
Republik Indonesia sejak pengakuan kedaulatan Perjanjian KMB (Konferensi Meja
Bundar) tanggal 27 Desember 1949 sampai sekarang.
PERKEMBANGAN SEPINTAS KILAS KOTA MADIUN
1. SUSUNAN DAN PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN
KEDUDUKAN JEPANG
A. Pemerintahan Sementara
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jendral H. Terpoorten
Panglima angkatan perang Hindia Belanda kepada tentara expedisi jepang di bawah
Letnan Jendral Hithosi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah
pemerintahan Hindia Belanda dan dengan resmi ditegakan kekuasaan Kemaharajaan
Jepang.
Setelah itu diterbitkan Osamu Seirei (UU) No. 1 Pasal 1 tanggal 7
Maret 1942 Isinya : Dai Nippon melangsungkan pemerintahan sementara di
daerah-daerah yang ditempati (khususnya di Jawa Sumatra) terlihat pada UU itu
pejabat Gubernur Jendral dihapus, berarti istilah wilayah Propinsi telah
dihapus tingkat pemerintahan tetap berlaku.
B. Pemerintahan Di Daerah Berdasarkan Struktur Pemerintahan
Pendudukan
Menurut UU No. 27 tahun 1942 tentang aturan pemerintahan daerah dan
UU No. 28 tahun 1942 tentang aturan pemerintah Syu (karesidenan) dan Tekubetsu
Syi (Kotapraja = Istimewa) menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 1942 itu mengatur
perubahan tata pemerintahan berupa
Pemerintahan :
Pemimpin :
Syu Residen Syu
Co Residen
Ken Kabupaten Ken Co
Bupati
Syi Kotapraja Syi
Co Walikota
Gun Kawedanan Gun Co
Wedana
Sen Kecamatan Sen Co
Camat
Ku Desa Ku
Co Lurah
Jelas bahwa Gemeente Madiun tidak berubah atau dibubarkan atau
dibentuk yang baru, hanya berubah dalam istilahnya yakni dahulu State gemeente
Madiun sekarang menjadi Syi = Kotapraja Madiun sebutan Walikota menjadi Syi Se
Kan (=Kan menyebut orangnya)
2. PERKEMBANGAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
a. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1. Tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 berkumandang saentero dunia
pernyataan Kemerdekaan Indonesia
2. Tanggal 18 Agustus 1945 Jam 10.00 berkumandang saentero dunia bahwa
telah berdiri Negara Merdeka Republik Indonesia.
Alinea kedua ini yang berbunyi : … hal-hal mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain … , muatan pemindahan kekuasaan berupa cita negara dan
cita-cita hukum yakni : bentuk negara berdaulat dan bentuk hukum nasional,
keduanya merupakan norma pertama.
Norma pertama atau norma dasar ini sebagai sumbernya segala aturan
hukum lainnya, sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukum lainnya,
sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukumnya yang berlaku sebelumnya.
Timbulnya norma pertama membawa konsekwensi timbulnya negara yang baru dan
hukum yang baru dan tidak mungkin akan timbul sebelumnya yakni tatanan
pemerintah penjajah Belanda/Jepang.
Akibat dari itu nama Nederlands Indie berubah menjadi Negara Republik
Indonesia. Semua perangkat di dalamnya tidak mengalami perubahan. Sesuai hal
itu nama Madiun Syi kembali menjadi Kotapraja Madiun.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Negara
Republik Indonesia. Terbitlah UU. No. 22 tahun 1948, isinya hanya melakukan
perubahan-perubahan istilah, bukan pembentukan sesuatu yang baru, maka Madiun
Syi menjadi Kotapraja Madiun yang dikepalai oleh seorang Walikota
Berdasarkan UU. No. 22 tahun 1948 itu dan berdasarkan Surat
Keputusan no. 168 tahun 1948 demi pemerintahan daerah, maka perlu ada penataan
wilayah daerah/kotapraja baik yang menjelaskan urusan phisik maupun finansial.
Jelas hal itu bukan pembentukan Kotapraja baru.
b. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah-daerah
Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan UU. dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.
Pasal tersebut memuat beberapa azas antaranya pemencaran
seluas-luasnya kekuasaan untuk mengurus rumah tangga sendiri (otonomi ) kepada
daerah-daerah.
Sistem pemerintahan daerah yang masih berlaku sekarang ini dibentuk
menurut U.U No. 1 tahun 1957 jo. UU. No. 6 tahun 1959 tentang sistem
desentralisasi.
Jenis daerah dapat dibedakan :
– Daerah Swantantra,
– Daerah Istimewa,
– Daerah Kotapraja.
Daerah-daerah tersebut mempunyai tingkatan :
– Daerah Tingkat I ( Kotapraja Jakarta/Propinsi )
– Daerah Tingkat II ( Kotapraja = Kota Besar )
– Daerah Tingkat III ( Kotapraja Kecil )
Menurut UU tersebut Kotapraja Madiun memenuhi selaku Daerah Tingkat
II atau dengan sebutan Kota Besar.
Daerah Kotapraja sebenarnya tidak lain dari pada Daerah Swantantra
biasa, hanya wilayahnya meliputi kota-kota saja yang merupakan kelompok
kediaman penduduk sekurang-kurangnya sekitar 50.000 jiwa.
Untuk itu berdasarkan pada UU. No. 22 tahun 1948 dan berdasarkan
pada Surat Keputusan no. 16 Tahun 1950 demi pemenuhan pemerintahan wilayah,
maka Kotapraja Madiun mendapat tambahan dari delapan Desa yakni :
– Demangan – Josenan
– Kuncen ( Desa Perdikan ) – Banjarejo
– Mojorejo – Rejomulyo
– Winongo – Manguharjo
Selanjutnya dengan berlakunya UU no. 1 tahun 1957 sebagai pengganti
UU no. 22 tahun 1948, maka Kota Besar Madiun di ubah menjadi Kotapraja.
Berdasarkan UU. No. 24 Tahun 1958 diadakan batas-batas wilayah
sehingga Kotapraja Madiun memiliki 20 Desa/Kelurahan. Pelaksanaan perubahan
tersebut terjadi pada tanggal : 21 – 5 – 1960.
c. Berdasarkan pada UU. No. 18 Tahun 1965 sebagai pengganti UU. No.
1 tahun 1957, Kotapraja Madiun di ubah menjadi Kotamadya Madiun yang diperintah
oleh Walikotamadya sebagai Kepala Daerah, selanjutnya sejak berlakunya UU. No.
5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah pengganti UU. No. 18 tahun
1965 Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun yang diperintah oleh seorang Walikota.
Pada tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya Madiun diusulkan
mendapat tambahan tujuh desa dari wilayah Kabupaten Madiun sehingga Kotamadya
Madiun memiliki wilayah 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai tanggal 18 –
4 – 1983 wilayah Kotamanya Daerah Tingkat II Madiun yang semula terdiri atas 1
Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 135/1169/011/1983 tanggal
: 19 – 1 – 1983 bertambah 7 Desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II
Madiun yakni:
– Desa Ngegong
– Desa Sogaten
– Desa Tawangrejo
– Desa Kelun
– Desa Pilangbango
– Desa Kanigoro
– Desa Manisrejo
Sehingga luas wilayah Kotamadya Madiun atau Kotamadya Daerah Tingkat
II Madiun menjadi 33.92 KM2 terdiri dari tiga kecamatan yakni, Kecamatan Taman,
Kecamatan Manguharjo dan Kecamatan Kartoharjo dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa.
Masing-masing kecamatan membawahi wilayah 9 desa/kelurahan. Selanjutnya sejak
berlakunya UU. No. 22 Tahun 1989 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
UU. No. 5 Tahun 1974 dan UU. No. 5 Tahun 1979, istilah Pemerintah Kotamdaya
daerah Tingkat II Madiun berubah menjadi Pemerintah Kota Madiun, akibat dari
itu berdasarkan Peraturan Daerah Kota Madiun No. 4 Tahun 2001 tambahan wilayah
7 desa terakhir berubah statusnya menjadi kelurahan.
Demikian perubahan dan perkembangan Gemeente Madioen terakhir
menjadi Kota Madiun.
PEMBERONTAKAN PKI DI MADIUN 1948
Latar Belakang Pemberontakan
Dimulai ketika kabinet Hatta melakukan perintah untuk
merasionalisasi dan reorganisasi (rera) tentara pada Kementrian Pertahanan dan
Markas Besar Tertinggi Angkatan Perang sampai ke eselon terbawah. Rasionalisasi
adalah proses dimana individu membangun logika yang benar (sistematis) untuk
digunakan pada keputusan, tindakan atau keteledoran dimana hal ini berangkat,
lewat sebuah proses mental yang berbeda. Dimana tentara-tentara yang
berperilaku buruk dikembalikan ke kampung halaman atau dikirim ke desa-desa
terpencil untuk menjadi petugas keamaan dan petani. Hatta melakukan
rasionalisasi bukan karena tidak ada alasan, tapi pemerintah tidak sanggup
membiayai banyaknya tentara yang dimiliki negara setelah berhasil merebut
kemerdekaan dan menindak lanjuti perjanjian Renville agar secepatnya membentuk
Negara Serikat Indonesia.
FDR ( Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo
dan lain-lain) yang telah ikut ambil adil dalam pengkaderan tentara-tentara
merasa dilucuti oleh kabinet Hatta. FDR yang notabene adalah pengikut gerakan
Moscow (Gerakan Komunis), menyusupkan ideologi-idelogi komunis kepada tubuh
tentara lewat pengkaderan itu. FDR menyatakan kalau 35% tubuh TNI di bawah
kekuasan FDR, mereka beranggapan kalau rasionalisasi adalah upaya pelucutan
kekuatan FDR dan melemahkan kekuatan negara. Karena sebagian besar
laskar-laskar yang terkena rasionalisasi adalah yang beraliansi dengan PKI.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan
kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis
Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok
kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang
tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya
dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll. kemudian juga
dari kalangan militer, bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel
Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol
Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan
Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten
Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha,
Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta
dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia.
Musso yang memuji-muji Rusia dan menyatakan bahwa Rusia mengakui RI
dan tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia. Rusia yang selama
ini berseberangan antara Amerika dan satu-satunya negara yang ditakuti Amerika.
Pernyataan-pernyataan Musso itu berakibat meningkatkan citra FDR di mata
masyarakat dan memberi angin segar kepada FDR. Pertemuannya dengan presiden
berbuahkan hasil, presiden meminta Musso untuk membantu memperkuat negara dalam
melancarkan revolusi. Akhirnya dia disibukan dengan membakar semangat rakyat
untuk menentang kapitalis dan imprealis.
Dibalik itu semua Musso memiliki tujuan terselubung yaitu
menginginkan Indonesia bersatu dengan Soviet untuk menghancurkan blok
imperialis pimpinan Amerika Serikat. Demi mewujudkan itu Musso memberikan
thesisnya dalam sebuah rapat PKI (26-27 Augustus 1948) yang berjudul “Jalan
Baru untuk Republik Indonesia”. Diterimanya thesis itu tanggal 31 Agustus 1948
PKI membuat gebrakan dengan dibubarkannya FDR untuk bergabung ke PKI dengan
begitu anggota yang awalnya cuma 3.000 orang naik pesat menjadi 30.000.
Pembentukan Pasukan PKI
Pembentukan kekuatan PKI sejak proklamasi Republik Indonesia
dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta, untuk memberontak bukanlah isapan jempol
belaka. Sebelum pemberontakan di Madiun terjadi, PKI telah melakukan upaya
pemberontakan di daerah strategis, seperti peristiwa Serang (1945), peristiwa
Tangerang (1945), peristiwa tiga daerah (Brebes, Pekalongan dan Tegal) (1945)
dan persitiwa Cirebon merupakan wujud nyata sebuah upaya pemberontakan PKI akan
kedaulatan negara Indonesia.
Mereka melakukan upaya pemberontakan karena ingin mendirikan soviet
di Indonesia, mereka tidak menghiraukan bahwa seluruh elemen bangsa sedang
berjuang menegakkan kemerdekaan. Walaupun peristiwa-peristiwa di atas berujung
kekalahan, mereka tiada hentinya menegakan ediologinya. Ini bukti tekat keras
mereka untuk merealisasikan idiologi komunis.
Demi mewujudkan berdirinya kekuatan bersenjata di pihak PKI,
orang-orang komunis menyusun organisasi kelaskaran terdiri dari Pesindo, Laskar
Merah, Laskar Buruh, Laskar Rakyat, Laskar Minyak, TLRI (Tentara Laut Republik
Indonesia) sampai ke TNI. Mereka mendapatkan senjata ketika Mr. Amir
Sjarifuddin mendapat jabatan Perdana Menteri. Mr. Amir Sjarifuddin adalah salah
satu dedengkot PKI, ketika menjabat dia memprioritaskan pembagian fasilitas
berupa senjata-senjata lebih kepada laskar-laskar yang beraliansi kepada PKI.
Peristiwa pemberontakan ini diawali dengan diproklamasikannya negara
Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso,
seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri
Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Saat Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun
Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan
pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang
ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun
tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan
bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak
oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan
memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk
melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia.
Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Pada saat kekosongan pimpinan TNI di Jawa Timur, orang-orang komunis
menyadari adanya kesempatan untuk melakukan dialokasi atau pemindahan
pasukan-pasukan PKI untuk mendekati Madiun. Entah sejak kapan Madiun
direncanakan sebagai daerah basis PKI, ini membuktikan betapa rapinya
organisasi dalam tubuh PKI.
Madiun mempunyai wilayah yang stategis baik dari segi ekonomi,
topologi daerah dan militer terutama angkatan udara karena adanya lapangan
udara Iswahyudi. Banyak pabrik gula seperti, PG Rejoagung, PG Kanigoro, PG
Pagotan, PG Redjosarie Gorang-gareng, PG Sudono Geneng, PG Purwodadie Glodok
dinilai memenuhi standar ekonomi. Adanya bengkel kereta Api yang letaknya dekat
dengan PG Rejoagung dan lintasan kereta api yang menghubungkan Surabaya – Jakarta
ini juga memberikan nilai lebih kota Madiun. Topologi daerah yang diapit 2
Gunung, Gunung Willis dan Gunung Lawu juga merupakan wilayah strategis untuk
bertahan dari serangan dan melarikan diri.
Serangan PKI
Kubu PKI tidak langsung menyerang kota Madiun dengan senjata tapi
dengan sering melakukan rapat-rapat untuk melakukan reorganisasi yang dihadiri
Musso dan Mr. Amir Sjarifuddin. Sebelum rapat dimulai tanpa disadari tiba-tiba
muncul pasukan berbaju hitam-hitam yang semakin hari semakin banyak yang tidak
diketahui asalnya.
Pasukan berbaju hitam-hitam selama sebelum rapat berlangsung
bertempat tinggal di gedung-gedung sekolah yang kebetulan libur. Setelah rapat
umum selesai, mereka mulai unjuk gigi. Setiap sudut kota Madiun dijaga oleh
pasukan berbaju hitam, kawasan-kawasan strategis pun tak luput mereka jaga
seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api dan jembatan-jembatan. Setiap
orang yang mau masuk kawasan strategis itu selalu digeledah oleh pasukan
berbaju hitam.
Gerak-gerik pasukan hitam membuat warga kota Madiun ketakutan.
Bagaimana tidak ketakutan, lawan politik dan pamong praja diculik dan dibunuh.
Ketua PNI, walikota, patih Madiun, camat Manisrejo, camat Jiwan, camat
Kebonsari, camat Takeran dan lain-lain mereka diculik oleh pasukan hitam. Di Magetan
Bupati dan patih dibunuh secara mengerikan. Kepala kepolisian Karesidenan
Madiun Komisaris Besar Sunaryo, diculik dari kantornya kemudian dinaikan ke
atas truk terbuka dan diarak keliling kota, diiringi barisan demonstran
berseragam hitam. Kemudian dikirim kesuatu tempat yang tidak diketahui dan
akhirnya dia tidak pernah kembali. Disusul Kepala Polisi Distrik Uteran Achmad
dan inspektur polisi Suparlan juga mengalami hal yang sama.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo
(RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi.
Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian
juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung
dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi
korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen
yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota
Madiun.
Tak luput tokoh-tokoh agama juga menjadi sasaran mereka, seperti
Kyai Selo (Abdul Khamid) dan anaknya dibunuh sedangkan Kyai Zubir dimasukan ke
dalam sumur hidup-hidup. Rata-rata korban pembantaian PKI mayat-mayatnya
dibuang begitu saja layaknya bangkai tikus. Mayat-mayat bergelimpangan di
jalan-jalan dan di buang ke sungai Bengawan Madiun. Korban-korban penculikan
diperkirakan tidak ada yang bisa selamat, mereka dibantai secara keji. Ditusuk,
ditembak, disembelih dan dilempar ke sumur seperti itulah kekejaman PKI di
Madiun. Menurut saksi hidup Mariyun Harjo “Saat itu, suami saya dijemput oleh
sekelompok orang dengan alasan akan melakukan suatu rapat mendadak di daerah
Kresek, Kecamatan Wungu. Namun, sesampai di sana semua orang yang ada disiksa
lalu dibuang“. Sepertinya kata-kata Mariyun mewakili semua kekejaman PKI.
Diperkirakan jumlah total keganasan PKI warga Madiun pada tahun 1948 mencapai
ribuan orang.
Setelah menyatakan sebagai Soviet Republik Indonesia dalam sekejab
Madiun dirubah sistem pemerintahnya seperti Soviet atau berediologi komunis.
Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang
demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan beberapa jumlah emas dan
permatanya kepada penguasa. Tidak seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih
dari limaratus rupiah.
Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun
Setelah mengetahui adanya pemberontakan di Madiun presiden berseru
“Tidak sukar bagi rakyat, Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya” Upaya
pendudukan PKI di Madiun ternyata tidak didukung penuh oleh masyarakat Madiun,
jadi stigma negatif kalau masyarakat Madiun adalah pendukung PKI hanya omong
kosong belaka. PKI tidak menyadari kalau upaya pemberontakan mereka tidak
didukung penuh masyarakat Madiun. Setelah mendengar seruan Presiden RI Sukarno
dan sebelum bantuan dari TNI datang para pelajar-pelajar yang tergabung dalam
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Geni Pelajar) ataupu TP
(Tentara Pelajar) mereka langsung menentang tindakan Musso.
Mengetahui pelajar-pelajar menentang rencananya , asrama TRIP
diserbu dan dilucuti senjatanya yang mengakibatkan pelajar bernama Mulyadi
tewas karena ditusuk bayonet tentara Pesindo (Salah satu laskar PKI).
Mengetahui kejadian itu pelajar-pelajar membentuk organisasi bernama PAM
(Patriot Anti Musso) untuk melawan tindakan politik Musso.
Karena Musso tidak merasa mendapatkan dukungan dari pelajar-pelajar,
Musso membujuk mereka dengan janji menggratiskan biaya sekolah. Tentunya rayuan
ini ditolak mentah-mentah oleh pelajar, mereka mengetahui kalau janji-janji itu
palsu. Setelah ajakan Musso gagal segera mereka mendatangi makam Mulyadi
meneriakan yel-yel anti Musso dan menyanyikan “temanku pahlawanku”.
Ditengah perjalanan pulang mereka mendapat kejutan, mobil mereka
dicegat tentara Pesindo. Senapan mesinpun dihadapkan kepada mereka. Tapi
bukanya takut tapi malah mengejek dan menantang tentara Pesindo. “Kalau berani
satu lawan satu” anehnya dengan senapan mesin tentara Pesindo malah ketakutan.
Melihat keutuhan negara sedang dirong-rong oleh PKI, jendral besar
Indonesia Panglima Sudirman langsung memberikan langkah kongkrit. Kolonel Gatot
Jawa Barat dan Kolonel Soengkono Jawa Timur diperintah Sudirman untuk menumpas
pemberontak. Saat itu jendral Sudirman tidak dapat memimpin serangan karena
sakit, maka dipilihlah Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando
Jawa (MBKD) sebagai pimpinan serangan.
Jendral Sudirman memerintahkan kepada mereka untuk menumpas pasukan
pendukung Musso dalam 2 minggu. Kenyataanya pasukan inti PKI hancur lebur dalam
waktu singkat. Mereka dikepung pasukan TNI dari sisi barat yang dipimpin
kolonel Gatot Subroto dan sisi timur dipimpin kolonel Soengkono, serta pasukan
Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat
oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September
1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh
pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan
Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI
dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang
benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam
waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, Kota Madiun dapat dikuasai
seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang
datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan
kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan
diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan
pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri,
termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi
pada 20 Desember 1948, di makam Ds.Ngalihan, wilayah Surakarta atas perintah
Kol. Gatot Subroto.
Untuk mengenang jasa pejuang Pemerintah Madiun membangun monumen
disebut Monumen Kresek di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.
Kerena tempat itu pusat pembantaian masal tawanan-tawanan PKI.
Tulisan ini kami susun berdasarkan sumber utama “Buku Sejarah
Kabupaten Madiun Tahun 1980” serta kami tambahkan beberapa artikel yang
bersumber dari sites,blog para pecinta sejarah Madiun, juga dari buku/catatan
atau referensi-referensi lain. Sebelumnya kami minta maaf apabila teman-teman
blogger merasa artikelnya telah kami kutip ke dalam tulisan ini. Kami hanya
berupaya untuk ikut melestarikan dan mempopulerkan sejarah perjuangan nenek
moyang kita, agar generasi muda sekarang mengetahui dan akhirnya ikut nguri-uri
semua yang telah di wariskan kepada kita. Kami berharap generasi muda khususnya
di Madiun dan sekitarnya tidak melupakan dan bahkan menganggap rendah terhadap
budaya sendiri (budaya Jawa)di bandingkan budaya mancanegara.
Semoga dengan semakin banyaknya pecinta sejarah dan budaya di
Madiun, maka semua cerita sejarah dan budaya yang ada di Madiun sekitarnya akan
semakin banyak terungkap, terlepas adanya pro-kontra dan perbedaan-perbedaan.
Terima kasih.